Monday, June 27, 2005

CINTA MANUSIA DAN CINTA ILAHI (1)

Pengarang : Unknown

BAB 1
FILSAFAT CINTA


Dalam perjalanan menuju manifestasi, jiwa melewati empat keadaan, 'Ilm,'Ishq, Wujud, Shuhud. 'Ilm adalah keadaan awal dari kesadaran,kecerdasan murni. 'Ishq adalah cinta, tahap kecerdasan berikutnya menuju manifestasi; karena itu kecerdasan dan cinta sama unsurnya.Benda-benda seperti batu dan tumbuh-tumbuhan, tak memiliki kecerdasan, sehingga tak memiliki cinta, kecuali suatu persepsi kecil tentang cinta yang ada di dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tetapi di antara hewan dan burung-burung, kecerdasan berkembang, sehingga cinta di dalam diri mereka dapat menunjukkan diri. Wujud adalah dunia obyektif, yang diciptakan untuk dicintai, karena cinta tak dapat diwujudkan bila tak ada sesuatu yang dicintai. Shuhud adalah realisasi pengalaman cinta dalam aspek apapun.

Kata cinta, dalam bahasa Inggris 'love', dalam bahasa Sanskrit 'Lobh', berarti keinginan, hasrat. Cinta adalah hasrat untuk menyadari sesuatu yang dicintai. Karena itu, Shuhud, realisasi cinta, merupakan satu-satunya tujuan setiap jiwa. Cinta, dalam berbagai aspeknya, dikenal pula dengan sebutan: kehendak, keinginan, hasrat, kebaikan, suka, dan lain-lain.

Di dalam cinta terdapat segala pengetahuan. Cinta manusia dan ketertarikannya kepada sesuatu, pada saatnya akan membuat sesuatu itu mengungkapkan rahasianya, sehingga manusia dapat mengetahui bagaimana cara mengembangkan, mengendalikan, dan memanfaatkannya. Tak seorang pun dapat mengetahui seseorang, sebesar apapun keinginannya untuk tahu, kecuali dengan cinta, karena tanpa cinta, mata ruhani buta; hanya mata luar yang terbuka, dan mata luar hanyalah semacam kaca mata bagi mata ruhani. Bila pandangan tidak tajam, apa manfaat kaca mata? Karena itulah kita mengagumi semua yang kita cintai, dan kita buta terhadap kebaikan orang yang tidak kita cintai. Bukan karena mereka berhak kita abaikan, tetapi tanpa cinta, mata kita tak dapat melihat kebaikan mereka. Seseorang atau sesuatu yang kita cintai mungkin mempunyai keburukan pula, tetapi karena cinta melihat keindahan, kita hanya melihat kebaikan itu. Kecerdasan sendiri dalam langkah selanjutnya menuju manifestasi adalah cinta. Ketika cahaya cinta telah dinyalakan, hati menjadi transparan, hingga kecerdasan jiwa dapat melihat melaluinya. Namun sebelum hati dinyalakan dengan api cinta, kecerdasan, yang senantiasa berupaya untuk mengalami hidup di permukaan, meraba-raba dalam kegelapan.

Seluruh alam semesta diciptakan untuk cinta. Manusia adalah yang paling mampu melakukannya. Bila kita memiliki batu di dalam rumah dan kita sangat menyukainya, batu itu tidak akan menyadari cinta kita sejauh yang disadari oleh tumbuh-tumbuhan. Bila kita memiliki sebuah tanaman dan kita memeliharanya dengan rasa sayang, ia akan bereaksi dan akan tumbuh. Hewan dapat merasakan kasih sayang. Bila kita memelihara hewan di rumah, mereka akan lebih banyak merasakan cinta dan perhatian! Hewan piaraan pada waktunya akan menjadi pengasih seperti anggota keluarga. Anjing Nabi Yusuf telah memberi makan kepada tuannya ketika beliau berada di dalam sumur sampai beliau ditemukan oleh orang yang berjalan melalui tempat itu. Dikisahkan, kuda seorang Arab yang tewas di medan perang tetap menungguinya selama tiga hari, menjaga mayatnya dari burung pemakan bangkai, sampai ia ditemukan kawannya. Tetapi manusia, yang memiliki kecerdasan terbanyak, memiliki cinta terbanyak secara alamiah. Semua ini menunjukkan bahwa ciptaan telah berevolusi dari mineral ke tumbuh-tumbuhan, dari tumbuh-tumbuhan menjadi kehidupan hewan, dan dari hewan ke manusia, berupa perkembangan cinta secara bertahap.

Para Sufi berkata bahwa alasan penciptaan adalah karena Yang Mahasempurna ingin mengetahui diri-Nya, dan melakukannya dengan membangkitkan cinta dari sifat-Nya dan membuatnya menjadi obyek cinta, yang merupakan keindahan. Dengan makna ini, para darwis saling menghormati satu sama lain dengan berkata, "Ishq Allah, Ma'bud Allah" --'Allah adalah cinta dan Allah adalah [kekasih] yang dicintai.' Seorang penyair Hindustan berkata, "Hasrat untuk melihat kekasih membawaku ke dunia, dan hasrat yang sama untuk melihat kekasih membawaku ke surga." Karena cinta merupakan sumber ciptaan dan pemelihara nyata dari semua keberadaan, maka, bila manusia tahu bagaimana cara memberikannya kepada dunia di sekelilingnya sebagai simpati, sebagai kebaikan, pelayanan, ia memberi kepada semuanya makanan kepada setiap jiwa yang lapar. Jika orang mengetahui rahasia hidup ini ia akan menguasai dunia dengan pasti. Cinta selalu dapat dikenal di dalam gagasan, ucapan, dan perbuatan orang yang mencintai, karena setiap ekspresinya terdapat kehangatan yang muncul sebagai keindahan, kelembutan, dan kehalusan. Hati yang terbakar oleh api cinta cenderung untuk melelehkan setiap hati yang dijumpainya. Cinta menghasilkan pesona pada pecinta sehingga sementara ia mencintai seseorang, semua mencintai pecinta itu. Magnetisme cinta dijelaskan oleh seorang penyair Hindustan: "Mengapa tidak semua hati dilelehkan menjadi tetesan-tetesan oleh api yang dipelihara hatiku sepanjang hidupku? Karena sepanjang hidup aku meneteskan air mata derita karena cinta, pecinta berkunjung ke kuburku penuh dengan air mata." Untuk mengajarkan cinta, Nabi Isa berkata, "Aku akan membuatmu menjadi pemancing manusia."Jalaluddin Rumi berkata: "Setiap orang tertarik kepadaku, untuk menjadi sahabatku, tapi tak seorang pun tahu apa di dalam hatiku yang menariknya." Cinta itu alami dalam setiap jiwa. Semua pekerjaan dalam hidup, penting atau tak penting, dalam suatu cara cenderung ke arah cinta; karena itu tak seorang pun di dunia yang dapat disebut sepenuhnya tanpa cinta. Cinta adalah sesuatu yang dibawa setiap jiwa ke dunia, tetapi setelah tiba di dunia, orang berperan dalam semua kualitas tanpa cinta. Andai tidak, kita pasti sudah pahit, cemburu, marah, dan penuh kebencian ketika kita lahir. Bayi tak punya kebencian. Anak kecil yang kita sakiti, dalam beberapa menit akan datang dan memeluk kita.

Mencintai, memuja seseorang yang berhubungan dengan kita baik dalam hal kelahiran, ras, kepercayaan atau hubungan duniawi lain, datang dari cinta jiwa. Kadang-kadang jatuh cinta pada pandangan pertama, kadang-kadang kehadiran seseorang menarik kita seperti magnet,kadang-kadang kita melihat seseorang dan merasa, "Mungkin aku telah mengenalnya." Kadang-kadang kita berbicara dengan orang lain dan merasakan mudah memahami seolah-olah kedua jiwa saling mengenal. Semua ini berkaitan dengan 'pasangan jiwa'.

Hati yang tercerahkan dan cinta lebih berharga daripada semua permata di dunia. Ada berbagai macam hati sebagaimana adanya berbagai macam unsure di dunia. Pertama, hati dari metal perlu lebih banyak waktu dan lebih banyak api cinta untuk memanaskannya, setelah panas ia akan meleleh dan dapat dibentuk menurut kehendak ketika itu, namun kemudian menjadi dingin kembali. Kedua, hati yang terbuat dari lilin, yang segera meleleh ketika bersentuhan dengan api, dan bila mempunyai sumbu ideal, ia akan mempertahankan api itu hingga lilin habis terbakar. Ketiga, hati dari kertas yang dapat menyala dengan cepat ketika bersentuhan dengan api dan berubah menjadi abu dalam sekejap. Cinta itu seperti api. Nyalanya adalah pengorbanan, apinya adalah kearifan, asapnya adalah keterikatan, dan abunya adalah keterlepasan. Api muncul dari nyala, demikian pula kearifan yang muncul dari pengorbanan. Bila api cinta menghasilkan nyala, ia menerangi jalan, dan semua kegelapan lenyap.

Bila daya-hidup bekerja di dalam jiwa, itu adalah cinta; bila bekerja di dalam hati, itu adalah emosi, dan bila bekerja di dalam tubuh, itu adalah nafsu. Karena itu orang yang paling mencinta adalah yang paling emosional, dan yang paling emosional adalah yang paling bernafsu, sesuai dengan dataran yang paling disadarinya. Bila ia bangkit di dalam jiwa, ia mencintai; bila bangkit di dalam hati, ia emosional; bila sadar akan tubuh, ia bernafsu. Ketiganya dapat digambarkan dengan api, nyala api, dan asap. Cinta adalah api di dalam jiwa, ia adalah nyala api bila hati dinyalakan, dan ia adalah asap bila ia menjelma melalui tubuh.

Cinta pertama adalah bagi diri sendiri. Bila dicerahkan, orang melihat manfaatnya yang sejati dan ia menjadi orang suci. Tanpa cahaya pencerahan, manusia menjadi egois hingga ia menjadi setan. Cinta kedua diperuntukkan bagi lawan jenis kelamin. Bila demi cinta, ia bersifat surgawi; dan bila demi nafsu, ia bersifat duniawi. Bila cukup murni, cinta ini tentu dapat menghilangkan gagasan tentang diri sendiri, tetapi manfaatnya tipis dan bahayanya besar. Cinta ketiga diperuntukkan bagi anak-anak, dan ini merupakan pelayanan pertama bagi makhluk Allah. Memberikan cinta kepada anak-anak, adalah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya apa yang dipercayakan oleh Pencipta, tetapi bila cinta ini meluas hingga mencakup seluruh ciptaan Allah, hal ini mengangkat manusia menjadi orang-orang pilihan Allah.

Cinta orang tua kepada anak-anaknya jauh lebih besar daripada cinta akan-anak itu kepada orang tuanya, karena semua pemikiran penggunaan tua terpusat pada anak, tetapi cinta anak mula-mula terpusat pada diri sendiri. Muhammad s.a.w. ditanya seseorang, "Cinta siapa yang lebih besar, cinta anak-anak kepada orang tua mereka, atau cinta orang tua kepada anak-anaknya?" Beliau menjawab, "Cinta orang tua lebih besar, karena sementara melakukan semua hal, mereka berpikir bagaimana agar anaknya tumbuh dan bahagia, seolah-olah ia mengharap untuk hidup di dalam kehidupan anak-anaknya setelah ia mati; sementara anak-anak yang saleh berpikir bahwa suatu hari orang tuanya akan mati, dan dengan demikian mereka hanya sebentar dapat melayani orang tua mereka." Orang itu bertanya, "Cinta ayah atau ibu-kah yang lebih besar?" Nabi menjawab, "Ibu. Ia berhak memperoleh penghormatan dan pelayanan, karena surga terletak di bawah kakinya." Cinta orang tua adalah cinta yang paling diberkahi, karena cinta mereka sebening kristal.

Alkisah, Shirvan Bhagat adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya yang sangat tua, hingga tak berdaya dan sepenuhnya bergantung kepada pelayanan anak lelaki satu-satunya. Shirvan begitu berbakti kepada mereka hingga ia mengorbankan kebebasan dan kesenangan hidup agar dapat melayani mereka. Dengan lembut ia memenuhi setiap panggilan mereka, dan dengan sabar menghadapi semua kesulitan yang berkaitan dengan ketuaan mereka. Suatu hari, orang tua itu berkata bahwa mereka sangat ingin berziarah ke Kashi. Anak yang saleh itu seketika menyetujui kehendak mereka, dan karena pada saat itu belum ada kendaraan, mereka pergi berjalan kaki. Ia membuat keranjang, memasukkan orang tuanya ke dalamnya, mengangkutnya dengan punggungnya, dan menempuh perjalanan ribuan mil melalui hutan, pegunungan, dan sungai-sungai.

Ia menempuh perjalanan itu berbulan-bulan, tetapi sebelum sampai, nasib malang menimpa. Atas perintah orang tuanya, Shirvan meletakkan keranjangnya di tanah dan pergi untuk mengambil air. Ketika berada di dekat sungai, ia terkena panah Raja Destaratha, yang sebenarnya diarahkan kepada seekor kijang. Mendengar teriakan manusia, Raja itu datang kepadanya, dan menangis sejadi-jadinya. Ia berkata, "Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?" Shirvan berkata, "Aku sedang sekarat. Aku hanya punya satu keinginan, yaitu memberi air kepada orang tuaku; mereka haus karena terik matahari." "Hanya itu? Aku akan melakukannya dengan senang hati sebagai tugas pertamaku." Shirvan berkata, "Bila tuan ingin melakukan yang lain, maka rawatlah mereka dan pastikan bahwa mereka dibawa ke Kashi, meskipun aku ragu apakah mereka akan hidup lebih lama setelah aku pergi." Raja itu pergi, membawa air di tangannya dan memberikannya kepada orang tua itu tanpa mengucapkan sepatah kata, khawatir mereka tidak akan mau minum bila mendengar suara orang asing. Orang tua itu berkata, "Hai anakku, sepanjang hidup, kami tak pernah melihatmu sedih. Ini adalah pertama kali engkau memberi kami air tanpa mengucapkan kata cinta yang selalu memberi kami hidup baru." Raja Destaratha menangis, dan menceritakan kematian Shirvan. Mendengar itu, mereka tak dapat lagi hidup untuk menikmati air itu. Mereka hanya hidup karena anak mereka, mereka menarik napas dalam, berkata "Oh, anakku Shirvan", dan meninggal.

Kisah di atas menjadi tradisi di India, dan ada pengikut dari tradisi itu yang membawa keranjang di pundaknya ke mana-mana, mengajarkan kebaktian dan pelayanan kepada orang tua. Bila cinta dipusatkan pada satu obyek, ia adalah cinta. Bila diarahkan ke beberapa obyek, ia disebut kasih. Bila seperti kabut, ia disebut nafsu. Bila cenderung kepada moral, ia adalah kebaktian. Bila diperuntukkan bagi Allah, Yang Mahaberada dan Mahaperkasa, yang merupakan Keberadaan Total, ia disebut cinta ilahi, pecinta itu disebut suci.

Tiada daya yang lebih besar daripada cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam hati. Orang berkata, "Ia berhati lembut, ia lemah," tetapi banyak orang yang tidak tahu kekuatan apa yang muncul dari hati yang menjadi lembut dalam cinta. Seorang serdadu bertempur di medan perang demi cinta kepada rakyatnya. Setiap pekerjaan yang dilakukan dalam cinta, dilakukan dengan seluruh daya dan kekuatan. Khawatir dan alasan, yang membatasi daya, tak mampu melawan cinta. Seekor induk ayam, meskipun sangat takut, dapat melawan seekor singa untuk melindungi anak-anaknya. Tiada sesuatu yang terlalu kuat bagi hati yang mencintai.Daya cinta menyelesaikan semua urusan dalam hidup sebagaimana daya dinamit yang mengalahkan dunia. Dinamit membakar segala sesuatu, demikian pula cinta: bila terlalu kuat ia menjadi roda pemusnah, dan segalanya menjadi salah dalam hidup pecinta. Itulah misteri yang menjadi penyebab penderitaan hidup seorang pecinta. Namun, pecinta itu mengambil manfaat dalam kedua kasus. Bila ia menguasai keadaan, ia seorang penguasa (master). Bila ia kehilangan semuanya, ia orang suci.

Cinta mengatasi [berada di atas] hukum, dan hukum berada di bawah cinta. Keduanya tak dapat dibandingkan. Yang satu dari langit, yang satu dari bumi. Bila cinta mati, hukum mulai hidup. Maka, hukum tak pernah menemukan tempat bagi cinta, demikian pula cinta tak dapat membatasi diri dengan hukum; hukum itu terbatas, dan cinta itu tak berbatas. Seseorang tak dapat memberi alasan mengapa ia mencintai orang tertentu, karena tiada alasan bagi segalanya kecuali cinta. Waktu dan ruang berada di dalam genggaman cinta. Perjalanan ribuan kilometer terasa hanya beberapa meter dalam kehadiran orang yang dicintai, dan beberapa meter terasa ribuan kilometer tanpa kehadirannya. Satu hari berpisah dalam cinta sama dengan seribu tahun, dan seribu tahun bersama kekasih terasa hanya sehari. Bila ada pengaruh yang melindungi di dunia ini, itu tak lain dari cinta. Dalam segala aspek kehidupan, ke mana pun kita mencari perlindungan, motifnya selalu cinta. Tak seorang pun dapat mempercayai suatu perlindungan, betapa pun besarnya, kecuali perlindungan yang diberikan oleh cinta. Kalau seorang raksasa menakuti seorang anak kecil, anak itu akan berkata, "Aku akan katakan kepada ibuku." Daya kekuatan manusia terlalu kecil bila dibandingkan dengan perlindungan cinta yang diberikan ibu kepada anaknya.

Cinta dapat menyembuhkan lebih dari apa pun di dunia. Tak ada sesuatu seperti sentuhan seorang ibu ketika anaknya menderita sakit. Tak ada penyembuh yang lebih baik daripada kehadiran orang yang dikasihi bila seorang pecinta sakit. Bahkan anjing dan kucing pun disembuhkan dengan sedikit sentuhan cinta. Untuk membaca pikiran, untuk mengirimkan dan menerima pesan telepati, orang mencoba proses-proses fisik dengan sia-sia. Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam cinta! Seorang pecinta mengetahui semuanya: kesenangan, kesedihan, pikiran dan imajinasi orang yang dicintainya. Tiada ruang atau waktu yang menghalanginya, karena arus telepati secara alami terjadi antara pecinta dan kekasihnya. Imajinasi, pikiran, mimpi dan visi seorang pecinta, semuanya mengungkapkan segala sesuatu tentang obyek yang dicintainya. Konsentrasi, yang merupakan rahasia setiap pencapaian dalam hidup, dan faktor terpenting dalam semua aspek hidup, terutama dalam jalur agama dan mistisisme, merupakan bal yang alami dalam cinta. Orang tanpa cinta akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu obyek. Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangannya. Maka pecinta tak perlu berkonsentrasi dalam pikirannya. Cintanya sendiri adalah konsentrasi yang memberinya penguasaan atas semua hal di dunia. Pecinta itu mencapai cintanya dan daya konsentrasi sekaligus. Bila ia tak mencapai obyeknya, maka ia terangkat ke atasnya. Dalam kedua kasus, pecinta itu memperoleh upahnya. (bersambung)

Sunday, June 26, 2005

CINTA MANUSIA DAN CINTA ILAHI (2)

BAB 2
SHIRIN DAN FARHAD

Cinta tak pernah tergoda oleh harta dan derajat. Shirin, puteri seorang miskin tetapi kaya akan idealisme, diculik dan dibawa kepada Raja Faras, yang seketika tergila-gila kepadanya, dan memberi hadiah besar kepada orang yang membawanya. Namun raja itu sangat kecewa karena Shirin tidak menanggapi cintanya; idealisme gadis itu terlalu tinggi untuk dapat dibujuk dengan kekayaan dan kebesaran Raja. Raja melakukan semua hal untuk menyenangkannya dan agar mau menikah dengannya, tetapi setiap upaya berakibat sebaliknya. Ketika Shirin melihat bahwa tak ada harapan untuk lepas dari istana yang baginya hanyalah sebuah sangkar, dan kenekadan raja dan pembantu-pembantunya telah sangat menipiskan kesabarannya, ia terpaksa menerima tawaran mereka, tetapi dengan satu syarat, yaitu sebuah kanal harus dibuat sebagai monumen memorial atas peristiwa itu. Tentu saja ini merupakan siasat untuk membatalkan pernikahan, karena pembuatan kanal itu memerlukan waktu bertahun-tahun. Raja begitu tergila-gila olehkecantikannya hingga ia lalai dalam menangkap isyarat halus itu, dan seketika memberi perintah kepada para arsitek dan insinyur untuk mulai bekerja secepatnya, dan menyelesaikannya sesegera mungkin, tidak peduliberapa biaya dan tenaga yang diperlukan. Ribuan pekerja segera terlibat dalam proyek itu, dan pekerjaan berlangsung siang-malam tanpa henti, di bawah pengawasan langsung raja itu sendiri dan pelayan-pelayannya.

Makin dekat ke penyelesaian pekerjaan, makin besar harapan sang raja, dan dengan gembira ia minta kepada Shirin untuk pergi melihat kanal itu. Dengan hati sedih, Shirin pergi ke kanal, khawatir kalau-kalau pekerjaan itu segera selesai dan ia harus menyerah kepada kehendak Raja, suatu hal yang dinilainya lebih buruk daripada kematian. Ketika berjalan melihatproses pekerjaan di mana ribuan orang bekerja siang dan malam, ia sangat terkejut melihat seorang pekerja datang kepadanya; karena terpesona oleh kecantikannya, tanpa takut ia berseru, "Hai Shirin, aku cinta padamu.""Cinta mengabaikan perbedaan derajat antara pecinta dan kekasihnya, dan mengabaikan ketinggian yang harus didaki seorang pecinta." Suara cinta dan perkataan kebaktian seperti itulah yang dicari-cari oleh Shirin, dan belum dijumpainya sebelumnya. Shirin menjawab, "Kalau engkau mencintaiku, pecahlah gunung ini dan buatlah terowongan menembus gunung ini. Emas perlu diuji sebelum diterima." Farhad langsung berkata,"Dengan senang hati akan kulakukan, Shirin, apapun yang engkau kehendaki. Tak ada sesuatu yang terlalu berat bagi seorang pecinta untuk melakukan sesuatu demi kekasihnya."

Farhad berjalan dengan sepenuh hati, tanpa bertanya mengapa ia harus membuat terowongan, tidak berpikir seberapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Ia tidak berpikir berapa lama akan selesai, tidak pula berpikir bahwa pekerjaannya akan sia-sia. Ia pergi ke gunung dan mulai memecah batu dengan kampaknya. Ia menyebut-nyebut nama Shirin setiap kali ia mengayunkan kampaknya. Setiap ayunan tangan Farhad mengukir sebuah mukjizat. Setiap ayunan, hasilnya seperti hasil kerja seratus ayunan kampak. "Daya manusia adalah kekuatan tubuhnya, tetapi daya cinta adalah keperkasaan Allah.": Tak perlu waktu lama bagi Farhad untuk menyelesaikan pekerjaannya, pekerjaan yang normalnya memerlukan waktu bertahun-tahun dan ribuan pekerja, diselesaikannya dalam beberapa hari seorang diri.

Shirin menolak Raja sejak ia melihat Farhad, dan berkata, "Ada pecinta lain yang sedang menjalani ujian, dan sebelum aku tahu hasil ujian itu, sebaiknya kita tidak menikah dulu." Mata-mata Raja mengawasi Farhad dari kejauhan, dan mereka segera mengirim berita bahwa Farhad telah menyelesaikan pekerjaannya sebelum kanal selesai dibuat. Raja begitu gusar, berpikir bahwa Farhad mungkin akan mendapatkan cinta Shirin, dan dengan demikian Shirin bukan menjadi miliknya lagi. Setelah berunding, seorang penasihatnya berkata, "Yang Mulia, anda adalah raja, dan Farhad hanya seorang pekerja. Mana bias langit dibandingkan dengan bumi? Aku akan pergi ke sana, dan bila Yang Mulia menghendaki, aku akan mengakhiri Fathad dalam sekejap." "Oh,jangan. Shirin akan melihat noda darah padaku, dan ini akan membuatnya menjauhiku selamanya." Seorang pembantu raja berkata, "Itu tidak sulit bagiku, Yang Mulia, mengakhiri hidup Farhad tak perlu dengan meneteskan darah." "Baiklah, kalau begitu," kata Raja. Pelayan raja itu pergi kepada Farhad, yang hampir menyelesaikan pekerjaannya dengan bayangan Shirin yang memberi harapan. "Kebahagiaan seorang pecinta terletak di dalam kebahagiaan kekasihnya." Pelayan raja berkata, "Hai Farhad, sayang, semuanya sia-sia! Hai pesaing bulan, kekasihmu Shirin telah meninggal secara tiba-tiba." Farhad berkata dalam +kepanikan, "Apa? Shirinku meninggal?" "Ya," kata pelayan itu, "Hai Farhad, sayang sekali Shirin telah tiada." Farhad mengeluh dalam, dan jatuh ke tanah. "Shirin..." itulah perkataannya yang terakhir, dan ia berlalu dari kehidupan ini.

Shirin mendengar dari orang-orang yang bersimpati kepadanya bahwa Farhad telah melakukan keajaiban dengan membuat terowongan dalam gunung sambil menyebut 'Shirin' dalam setiap ayunan kampaknya, dan telah menyelesaikan pekerjaan yang normalnya perlu waktu yang sangat lama, dalam waktu singkat. Shirin, yang hatinya telah tertambat pada Farhad, dan yang melalui jiwanya cinta Farhad terkoyak, tak memiliki lagi sisa kesabaran barang sedetik, maka ia berangkat ke gunung pada kesempatan pertama. "Dua daya yang lebih tinggi memisahkan dua hati yang bersatu." Shirin,yang bernasib baik dapat memiliki pecinta seperti Farhad, tak bernasib cukup baik untuk dapat melihatnya kembali.

Ketika Shirin menemukan jasad Farhad tergeletak di dekat karya mengagumkan yang baru saja diselesaikan baginya, ia merasa sangat tertekan dan kecewa. Mata-mata Raja datang mendekat untuk meyakinkan Shirin bahwa Farhad telah mati, berharap bahwa karena kini Farhad telah tiada, Shirin akan berketetapan hati pada Raja. Mereka berkata, "Farhad yang malang. Sayang, ia telah mati." Shirin mendengar dari tiupan angin, dari aliran air, dari batu-batu, dari pohon-pohon, suara Farhad memanggil, "Shirin, Shirin." Seluruh suasana di tempat itu menarik jiwa Shirin dengan magnetisme cinta yang diciptakan Farhad di sekelilingnya. Ia jatuh ke tanah, terpukul dan merasa sangat kehilangan hingga hatinya tak tahan lagi, berseru, "Farhad, aku datang untuk bisa bersamamu."

Takdir seorang pecinta adalah kekecewaan besar di mata dunia, tetapi ia merupakan kepuasan tertinggi di mata orang-orang bijak. Orang-orang yang bersifat menyerasikan, mencintai satu sama lain. Mungkin sifat-sifat tubuhlah yang menyerasikan kualitas mental, kualitas jiwa. Daya tarik fisik hanya berumur pendek, daya tarik emosional berumur agak lama, dan daya tarik spiritual bertahan selamanya.

Cinta yang hanya sedikit diucapkan dapat menyalakan hati lain, cinta yang lebih banyak diucapkan akan menghantuinya, tetapi bila terlalu banyak diucapkan akan menjauhkan obyek cinta. Hubungan menghasilkan teman, meskipun tak ada hubungan atau persahabatan duniawi yang abadi. Dengan berkumpul, duduk bersama, makan bersama, menghirup udara yang sama, hati akan mendekat. Dua batubara yang menyala, bila didekatkan akan membuat satu api. Api itu menyatukan keduanya. Bila dua tangan bergandengan, suatu arus listrik mengalir dari satu tangan ke tangan yang lain. Inilah alasan orang berjabat tangan, agar api kedua orang bertemu. Karena itu orang berkecenderungan untuk bertepuk tangan, melipat tangan dan menyilangkan kaki ketika duduk atau berbaring, karena memberi mereka kenyamanan. Inilah yang menyebabkan adanya kemiripan yang ada pada orang-orang dalam satu bangsa atau suatu ras.

Cinta cenderung menghasilkan kualitas, bahkan kemiripan, antara pecinta dan yang dicintai. Seringkali kita melihat sahabat, suami-isteri, sepasang kekasih, mursyid dan murid, pada saatnya menjadi mirip. Potret berbagai Syekh pada aliran Chistiyah semuanya seolah-olah mereka itu dibuat dalam cetakan yang sama. Seseorang yang pergi jauh dari negerinya dan hidup lama di negeri lain, menjadi akrab dengan negara itu, menyukainya, dan kadang-kadang tak ingin pulang ke negerinya sendiri, disebabkan oleh cinta yang terbentuk oleh pergaulan.

Pertemuan itu menyulut cinta, dan perpisahan membuyarkan cinta. Makin jauh obyek cinta dari jangkauan pecintanya, makin lebar bentangan yangada bagi perluasan cinta. Karena itu cinta terhadap obyek yang tak dapat diperoleh memiliki kemungkinan untuk berkembang, sedangkan bila obyek cinta berada dalam jangkauan hal ini sering membatasi cinta. Bila perpisahan berlangsung pendek, cinta akan bertambah, tetapi bila terlalu lama, cinta itu mati. Bila pertemuan hanya sebentar, cinta akan tersulut, tetapi sulit untuk mempertahankan apinya. Bila pertemuan berlangsung lama, cinta tak banyak terpengaruh, tetapi berakar hingga tumbuh, berkembang dan berlangsung lama. Dalam ketidakhadiran kekasih, harapan merupakan minyak yang membuat api cinta menyala. Pertemuan dan perpisahan pada gilirannya akan membuat api cinta menggelora. Terlalu lama bertemu akan mengecilkan api cinta, dan terlalu lama berpisah akan mematikan api karena kehabisan minyak. Kita mungkin tinggal setahun di sebuah kota, dan mungkin kita mengenal dan menyukai orang-orang di sana, dan mereka pun sangat menyukai kita,hingga cinta bertambah dan kita berpikir, "Andai kita dapat terus tinggal di sana!" Ketika kita pergi, selalu terasa berat untuk berpisah dari mereka. Kemudian kita pergi, kawan-kawan kita menulis surat dan kita menjawabnya, mula-mula tiap hari, kemudian tiap minggu, kemudian tiap bulan, dan frekuensinya terus berkurang hingga hanya tiap Hari Raya saja, karena kita tumbuh terpisah dan hanya sedikit urusan dengan mereka dan lebih banyak berurusan dengan orang-orang yang kini berada di sekeliling kita. Bila kita kembali ke tempat yang sama setelah lima atau enam tahun, mula-mula kita merasakan bahwa iklimnya asing bagi kita, jalan-jalan dan rumah-rumah tampak asing, dan tak ada lagi kehangatan yang dulu ada. Bila kita bodoh, kita akan menyalahkan kawan-kawan. Bila kita tahu, kita pun akan menyalahkan diri sendiri. Kebersamaanlah yang meningkatkan cinta dan perpisahan-lah yang mengikis cinta, demikian pula dengan keterikatan kita pada tempat-tempat. (bersambung)

Saturday, June 25, 2005

CINTA MANUSIA DAN CINTA ILAHI (3)

BAB 3
YUSUF DAN ZULAIHA

Dari kisah Yusuf dan Zulaiha kita belajar bagian keindahan mana yang berperan dalam dunia cinta. Yusuf adalah putera bungsu Yakub, seorang nabi yang dikaruniai kemampuan melihat masa mendatang sebagaimana beberapa pendahulunya. Ia dimasukkan ke dalam sumur oleh kakaknya yang iri atas ketampanan dan pengaruhnya terhadap ayah dan setiap orang yang dijumpainya. "Bukan hanya cinta itu sendiri, tetapi keindahan juga menuntut pengorbanan."

Beberapa pedagang yang lewat di situ melihat Yusuf di dalam sumur ketika mereka menimba air, menaikkannya dan menjualnya sebagai budak kepada gubernur Mesir, yang karena tertarik oleh ketampanannya, menjadikannya pembantu pribadi. Zulaiha, isteri gubernur itu, makin lama makin tertarik oleh ketampanan pemuda itu. Ia berbicara kepadanya, bermain dengannya, mengaguminya, dan di matanya ia mengangkatnya dari budak menjadi seorang raja. Orang yang dikaruniai keindahan selalu menjadi raja, meskipun mereka berpakaian compang-camping atau dijual sebagai budak. "Raja sejati selalu menjadi raja, dengan atau tanpa singgasana."

Teman-teman dan kenalan Zulaiha mulai menyebarkan desas-desus bahwa ia jatuh cinta pada Yusuf, dan karena manusia secara alami tertarik oleh kesalahan orang lain, hal ini pada akhirnya menempatkan Zulaiha pada posisi yang sulit. Suatu ketika Zulaiha mengundang teman-teman dan kenalannya, menaruh sebutir jeruk dan sebilah pisau di tangan tiap tamunya, dan meminta mereka untuk mengiris jeruk ketika ia memberi isyarat. Kemudian ia memanggil Yusuf. Ketika Yusuf datang ia meminta mereka untuk mengiris jeruk, tetapi mata mereka begitu tertarik oleh penampilan Yusuf, hingga mereka bukan memotong jeruk, melainkan mengiris jari-jari mereka sendiri, dan dengan demikian menerakan cinta Yusuf ke atas tangan mereka. "Keindahan merampas kesadaran akan diri dari pecintanya." Zulaiha, yang sepenuhnya terpikat oleh Yusuf, melupakan apakah cintanya kepada Yusuf salah atau benar. "Nalar jatuh ketika cinta bangkit." Mereka menjadi semakin akrab setiap hari hingga sebuah kutukan nafsu datang dan memisahkan mereka. Ketika bayangan nafsu jatuh pada jiwa Yusuf, Zulaiha kebetulan berpikir menutupi wajah pujaannya yang berada di kamarnya. Hal ini mengejutkan Yusuf sehingga ia bertanya, "Apa yang anda lakukan?" Dijawab, "Aku menutupi wajah tuhanku yang memandang kita dengan mata penuh murka." Ini menyadarkan Yusuf. Ia melihat visi ayahnya menunjukkan jari ke arah langit. Yusuf berkata, "Hai Zulaiha, apa yang engkau masukkan ke dalam pikiranku! Mata tuhanmu dapat ditutupi dengan selembar kain, tetapi mata Tuhanku tak dapat ditutupi. Ia melihatku di mana pun aku berada." "I adalah orang yang mengingat Allah dalam kemarahan, dan takut kepada Allah dalam nafsu," kata Zafar.

Zulaiha, yang dibutakan oleh kegelapan yang pekat dari nafsunya, tidak tahan, dan ketika Yusuf masih menolak, nafsunya berubah menjadi murka. Ia membenci Yusuf, mengutuknya dan mengingatkannya bahwa kedudukannya adalah sebagai seorang budak yang rendah. Karena itu Yusuf pergi meninggalkan kamar, tetapi Zulaiha menarik pakaian di bagian belakang leher Yusuf hingga robek. Kebetulan, Gubernur memasuki kamar pada saat itu. Ia terkejut melihat pemandangan di depannya, di mana baik Zulaiha maupun Yusuf tak dapat bersembunyi. Sebelum Gubernur bertanya kepadanya, untuk menyembunyikan kesalahannya, Zulaiha berkata bahwa Yusuf telah berusaha menyentuhnya. Tentu saja hal ini membuat Gubernur marah, dan seketika ia memberi perintah agar Yusuf dipenjara seumur hidup. "Orang yang benar mendapat cobaan lebih banyak dalam hidup daripada orang yang tidak benar."

Penjara lebih menyenangkan bagi Yusuf yang memegang kebenaran, yang menjaga agar lenteranya tetap menyala dalam kegelapan nafsu ketika menjalani jalur cinta. Tak lama sebelum kutukan atas Zulaiha pudar, datanglah kesedihan yang dalam. Baginya tiada akhir bagi kesedihan dan penyesalannya. "Cinta mati dalam nafsu, dan lahir kembali dari nafsu." Tahun demi tahun berlalu, dan kepedihan dalam hati Zulaiha telah menguras daging dan darahnya. Pada satu sisi karena cinta kepada Yusuf, pada sisi lain karena rasa bersalah yang tanpa akhir, dan pendapat bahwa kekasihnya telah dipenjara akibat ulahnya, hampir mengambil hidupnya.

Waktu mengubah segalanya, termakuk kehidupan Yusuf. Meskipun dipenjara,ia tak menyalahkan Zulaiha, dengan alasan cintanya. Setiap hari ia menjadi semakin dalam tenggelam dalam memikirkan Zulaiha , tetapi tetap berpegang pada pendiriannya, yang merupakan tanda orang suci. Ia dicintai dan disukai orang-orang dalam penjara, dan ia menafsirkan mimpi-mimpi mereka bila diminta. Kehadiran Yusuf membuat penjara menjadi surga bagi para narapidana. Tetapi setelah kematian suaminya, Zulaiha jatuh ke dalam kesedihan yang lebih dalam.

Setelah beberapa tahun, Raja (Fir'aun) bermimpi sesuatu yang sangat merisaukannya. Tak ada orang yang mampu menafsirkannya di antara para cerdik pandai. Kemudian ia diberi tahu pelayannya tentang Yusuf dan kemampuannya dalam menafsirkan mimpi. Maka Yusuf dipanggil, dan ia dapat menafsirkannya dengan arif. Dari nasihatnya yang arif, ia sangat banyak membebaskan beban pikiran sang Raja, dan Raja mengangkatnya menjadi kepala perbendaharaan kerajaan, serta memberinya kehormatan dan kekuasaan yang mengangkatnya di mata dunia. "Sesungguhnya kebenaran pada akhirnya akan menang." Kemudian kakak-kakaknya datang kepada Yusuf, dan disusul oleh ayahnya,Yakub, yang terbebas dari derita bertahun-tahun yang dialaminya akibat cintanya kepada Yusuf. "Upah dari cinta tak pernah gagal datang kepada pecinta."

Suatu ketika, Yusuf berkuda bersama pengawalnya, kebetulan melewati tempat di mana Zulaiha menghabiskan hidupnya dalam kesedihan. Ketika mendengar derap kaki kuda, banyak orang yang berlari untuk melihat rombongan yang lewat, dan semua berteriak, "Itu Yusuf, Yusuf!" mendengar teriakan itu, Zulaiha ingin melihat Yusuf sekali lagi. Ketika Yusuf melihatnya, ia tak mengenalinya lagi, tetapi ia berhenti karena beberapa wanita ingin berbicara dengannya. Ia terharu ketika melihat seorang wanita yang begitu sedih, dan bertanya kepadanya, "Apa yang anda inginkan dariku?" Wanita itu menjawab, "Zulaiha masih memiliki hasrat yang sama, hai Yusuf, dan itu akan berlanjut di sini dan di akhirat. Aku menginginkan engkau, dan hanya engkau seorang yang kuinginkan." Yusuf menjadi sangat yakin akan keteguhan cinta wanita itu, dan terharu oleh penderitannya, menciumnya di keningnya, menarik tangannya dan berdoa kepada Allah. Doa nabi itu dan daya cinta yang tiada henti, telah menarik berkah dari Allah, dan Zulaiha memperoleh kembali kemudaan dan kecantikannya. Yusuf berkata kepada Zulaiha, "Mulai hari ini engkau menjadi kekasihku." Mereka menikah dan hidup bahagia. "Sesungguhnya Allah mendengarkan dengan penuh perhatian tangisan setiap hati yang merintih." (bersambung)

Friday, June 24, 2005

CINTA MANUSIA DAN CINTA ILAHI (4)

BAB 4
MORAL CINTA

Ada satu moral, yaitu cinta memancar dari penyangkalan diri dan berkembang dalam perbuatan baik. Orang yang kolot berkata, "Ini baik, itu buruk. Ini benar, itu salah," tetapi bagi seorang Sufi sumber semua perbuatan baik adalah cinta. Orang mungkin berkata bahwa cinta pun merupakan sumber perbuatan buruk, tetapi tidak demikian; sumbernya adalah tiadanya cinta.

Amal baik kita terbuat dari cinta, dan dosa-dosa kita disebabkan oleh tiadanya cinta. Cinta mengubah dosa menjadi kebaikan. Tanpa cinta, perbuatan baik tak bermakna. Ketika seorang wanita yang dituduh telah melakukan dosa dibawa kepadanya, nabi Isa berkata, "Dosa-dosanya telah diampuni, karena ia sangat mencintai." Surga menjadi indah karena cinta,dan hidup menjadi neraka tanpa cinta. Cinta dalam kenyataannya menghasilkan keserasian dalam hidup seseorang di dunia dan kedamaian di akhirat.

Seorang gadis penari, ketika menyaksikan dua pemakaman dari balik jendela, berkata kepada pemuda kekasihnya, "Yang pertama dari keduanya adalah jiwa yang telah pergi ke surga, yang kedua adalah jiwa yang telah pergi ke neraka, aku yakin." Pemuda itu berkata, "Bagaimana engkau, seorang gadis penari, pura-pura tahu sesuatu yang hanya diketahui orang suci?" Gadis itu menjawab, "Aku tahu dari kenyataan sederhana bahwa orang yang mengikuti pemakaman pertama semua bermuka sedih, bahkan banyak yang meneteskan air mata; sedangkan orang-orang pada pemakaman kedua semuanya gembira. Yang pertama membuktikan bahwa ia mencintai dan memperoleh kasih sayang dari banyak orang sehingga tentu ia berhak masuk surga; sedangkan yang kedua tentu tak menyukai seorang pun karena tak ada yang mengangisi kepergiannya."

Oleh karena itu, sebagaimana dunia ini merupakan neraka bagi orang tanpa cinta, neraka yang sama akan menjadi nyata di dunia berikutnya. Bila jiwa dan hati tak mampu mencintai, maka meskipun ia seorang kerabat atau teman terdekat, ia adalah orang asing. Ia tak mempedulikan mereka, dan tidak menyukai kebersamaan dengan mereka. Mudah sekali untuk mulai mencintai, dan inilah yang dilakukan semua orang. Tetapi sangat sulit untuk memelihara cinta, karena cinta membuka mata pecinta untuk melihat melalui kekasihnya, meskipun ia menutup mata pecinta terhadap semua yang lain. Mula-mula, semakin pecinta mengetahui kekasihnya, semakin banyak ia melihat cacat maupun kebaikannya, yang secara alami pada awal cinta menjatuhkan kekasih dari ketinggian di mana pecinta menempatkan kekasihnya. Hal lain adalah bahwa di samping atribut-atribut yang memikat pecinta satu sama lain, terdapat kecenderungan pada masing-masing untuk menghancurkan. Ego selalu memainkan siasat dalam membawa dua hati bersatu dan kemudian memisahkannya kembali. Karena itu di dunia ini hampir semua orang berkata, "Aku cinta," atau "Aku telah mencintai," tetapi sangat jarang cinta yang senantiasa meningkat sejak dimulai. Bagi pecinta sejati, sungguh aneh mendengar orang berkata, "Aku telah mencintinya, tetapi kini aku tak mencintainya lagi."

Cinta harus secara mutlak bebas dari pementingan diri sendiri, karena bila tidak, ia tak akan menghasilkan cahaya yang benar. Bila api tak menyala, ia tak memberi cahaya, hanya asap yang keluar darinya, asap yang menyebalkan. Demikianlah cinta yang mementingkan diri sendiri; baik cinta kepada manusia maupun kepada Allah, ia tak berbuah karena meskipun tampak seperti cinta kepada orang lain maupun kepada Allah, ia sesungguhnya adalah cinta kepada diri sendiri. Gagasan yang masuk ke dalam pikiran seorang pecinta seperti, "Jika engkau mau mencintaiku, aku akan mencintaimu, tetapi bila engkau tak mencintaiku, aku pun tak akan mencintaimu," atau "Aku mencintaimu sebesar cintamu kepadaku," dan semua pernyataan serupa, adalah pernyataan cinta yang palsu.

Peran yang dijalankan seorang pecinta dalam hidup lebih sulit daripada peran kekasih. Tirani dari pihak kekasih dipandang dengan toleran dan sabar oleh pecinta sebagai sesuatu yang alami dalam jalur cinta. Hafiz berkata tentang menyerah kepada kehendak kekasih: "Aku telah memecahkan gelas kehendakku ketika berbenturan dengan kehendak kekasihku. Apa yang dapat dilakukan bila hatiku takluk oleh kekasih yang keras hati, yang mengikuti kehendaknya sendiri dan mengabaikan kehendak pecintanya?" Itulah hasil studi mengenai sifat pecinta dan kekasihnya, bahwa sang kekasih melakukan apa yang diinginkan, sedangkan pecinta hidup dalam cinta. Penyimpangan dari keadaan itu hanya terjadi pada kematian pecinta. Satu-satunya cara ialah penyerahan diri, baik dalam hal kekasih duniawi maupun Kekasih ilahi. Pecinta tak pernah mengeluh mengenai ketidak-adilan terhadap dirinya, dan ia menyembunyikan setiap kesalahan kekasihnya. Pecinta selalu berusaha agar tidak menyakiti perasaan kekasihnya dalam setiap perbuatannya.

Meskipun cinta adalah cahaya, ia menjadi kegelapan bila hukumnya tidak dipahami. Seperti air yang dapat membersihkan semua benda, air itu menjadi lumpur bila bercampur tanah. Demikian pula cinta, bila tidak dipahami dengan benar dan bila salah arah, ia menjadi kutukan, bukan berkah. Ada lima dosa utama terhadap cinta, yang mengubah madu menjadi racun. Pertama, bila demi cintanya pecinta merampas kebebasan dan kebahagiaan kekasihnya. Kedua, bila pecinta membiarkan kecemburuan atau kepahitan dalam cinta. Ketiga, bila pecinta ragu, tak percaya, dan curiga kepada orang yang dicintainya. Keempat, bila cinta menyusut akibat membiarkan kesedihan, masalah, kesulitan, dan penderitaan yang datang dalam jalur cinta. Kelima, bila pecinta memaksakan kehendaknya sendiri, bukan menyerah kepada kehendak kekasih. Itu semua adalah penyebab alami dari petaka dalam hati yang mencinta, seperti penyakit bagi tubuh fisik. Lenyapnya kesehatan membuat hidup menyedihkan, demikian pula lenyapnya cinta membuat hati tertekan. Hanya pecinta yang menghindari kesalahan di atas akan memperoleh manfaat dari cinta, dan tiba dengan selamat di tempat tujuannya.

Cinta terletak di dalam pelayanan. Hanya sekedar melakukan, bukan demi ketenaran atau nama, bukan mengharap penghargaan atau terima kasih, adalah pelayanan cinta. Pecinta menunjukkan kebaikan dan kemurahan kepada kekasihnya. Ia melakukan apapun yang dapat dilakukannya bagi kekasihnya dalam bentuk membantu, melayani, berkorban, menenangkan, atau menyelamatkan, tetapi menyembunyikan semuanya dari dunia, bahkan dari kekasihnya. Bila sang kekasih melakukan sesuatu baginya ia melebih-lebihkannya, mengidealkannya, membuat pasir menjadi bukit. Ia mengambil racun dari tangan kekasih sebagai gula, dan derita cinta dalam luka hatinya sebagai kegembiraan. Dengan memperbesar dan mengidealkan apapun yang dilakukan kekasih terhadapnya dan dengan melupakan spa yang dilakukannya bagi kekasihnya, ia mengembangkan penghargaan diri sendiri, yang menghasilkan semua kebaikan dalam hidupnya. Kesabaran, pengorbanan, penyerahan, kekuatan, dan pengabdian dibutuhkan dalam cinta, dan tiada sesuatu kecuali harapan, hingga ia bersatu dengan kekasihnya. Pengorbanan dibutuhkan dalam cinta untuk memberi semuanya: kekayaan, harta milik, tubuh, hati, dan jiwa. Tiada lagi "Aku" yang tersisa, yang ada hanya "engkau", sampai "engkau" itu berubah menjadi "aku". Di mana ada cinta di situ ada kesabaran, di mana tiada kesabaran di situ tak ada cinta. Pecinta mengambil harapan sebagai sari dari agama cinta, karena harapan adalah satu-satunya hal yang membuat api hidup tetap menyala. Bagi pecinta, harapan adalah tali keselamatan di laut. "Brahma mengumpulkan madu dari semua hal di dunia, dan madu itu adalah harapan."

Menurut hukum alam, perpisahan diperlukan meskipun ini paling menyakitkan. Bila dua hati bersatu dalam cinta, perpisahan menunggu mereka. Perpisahan harus diterima. Seorang penyair Persia berkata, "Andai aku tahu kepedihan akibat perpisahan dalam cinta, aku tak akan pernah membiarkan cahaya cinta menyala di dalam hatiku." Seperti yang dikatakan orang Jepang, Tuhan itu cemburu terhadap semua selain diri-Nya. Siapa pun yang engkau cintai, ruh Allah secara alami akan memisahkannya, cepat atau lambat.

Gagasan ini diungkapkan secara simbolik dalam cerita India, Indra Sabha. Sabzpari, seorang peri yang pernah menari di depan Indra, Raja Langit, tertarik oleh Pangeran Gulfam, seorang manusia bumi, ketika peri itu terbang di atas istana. Pelayannya, Dewa hitam, membawa Gulfam atas perintahnya, dari bumi ke langit. Gulfam mula-mula tidak suka dengan tempat asing itu, tetapi kemudian cinta Sabzpari menariknya begitu kuat hingga Gulfam hidup di dalam cintanya. Sabzpari harus berada di balairung istana setiap malam untuk menari dan menghibur Raja Indra, tetapi karena cintanya terhadap Gulfam, ia beberapa kali tidak hadir, dan setiap orang bertanya-tanya mengapa ia tidak datang. Namun kepergiannya setiap malam ke istana Indra membuat Gulfam curiga jangan-jangan ada orang lain yang terpesona oleh Sabzpari. Hal ini berkali-kali ditanyakannya kepada Sabzpari, dan setiap kali tidak dijawab, hingga akhirnya ia menjadi marah dan Sabzpari berpikir untuk tidak lagi menyembunyikannya. Mendengar penjelasan itu, Gulfam minta Sabzpari agar membawanya ke balairung istana Indra. Sabzpari berkata, "Tak pernah ada laki-laki yang ke sana, dan bila Indra melihatmu maka hari-hari indahmu dalam cinta dan kebahagiaan akan berakhir. Kita pasti harus berpisah, dan aku tak tahu apa yang akan dilakukannya terhadapmu."

Gulfam berkata, "Tidak. Itu hanya kata perempuan. Engkau mungkin bercinta dengan beberapa Dewa, dan ingin menyembunyikannya dengan berkata demikian." Sabzpari sangat sedih karena melihat dirinya dalam keadaan tak berdaya. Karena pengaruh perkataan yang begitu tajam seperti anak panah itu, tanpa berpikir lagi, dibawanya Gulfam ke istana Indra, sambil berkata, "Apa pun yang akan terjadi, biarlah terjadi."

Sabzpari membawanya ke balairung istana, menyembunyikannya di balik lipatan pakaian dan sayapnya. Dewa Merah mencium kehadiran manusia di balairung, dan setelah melihat sekeliling, ia menemukan Sabzpari menari dengan sangat baik di hadapan Indra, sambil menyembunyikan Gulfam di belakangnya. Dengan kerendahan, ia membawanya menghadap Indra, Dewa segala Langit, yang duduk di singgasana dengan segelas anggur di tangannya, matanya merah dengan anggur, dan menampakkan kebesaran. Ketika Indra melihat bahwa seorang manusia dibawa ke puncak langit, ia bangkit dengan murka besar dan berkata kepada Sabzpari, "Hai, peri yang tak tahu malu, alangkah beraninya engkau membawa manusia ke puncak langit, sedangkan tak satu pun makhluk bumi yang diijinkan datang?" Dewa Merah berkata, "Yang Mulia, cintanya kepada makhluk bumi telah membuat ia tak berbakti kepada tahta langit dan membuatnya gagal dalam tugasnya kepada Yang Mulia."

Sabzpari berkata kepada Gulfam, "Engkau melihat sendiri, kekasihku tercinta, apa akibat terhadap kita dari kekerasan hatimu?" Indra berkata, "Pisahkan mereka seketika, agar mereka tak dapat berkata-kata satu sama lain. Lemparkan manusia itu ke kedalaman bumi, dan robek sayap-sayap peri itu dan penjarakan ia sampai cintanya kepada Gulfam terhapus dari hatinya. Kemudian sucikan dia dari kelima unsur. Baru kemudian ia boleh datang lagi, bila ia diijinkan oleh kehendak dan ampunan dan kasihku."

Simbolisme itu menceritakan Tuhan yang pencemburu. Indra berasal dari kata Andar atau Antar, yang berarti bagian dalam, ruh terdalam, yang diidealkan manusia sebagai Tuhan Yang Mahaperkasa. Peri adalah jiwa yang diciptakan-Nya dari keberadaan-Nya. Tarian peri yang merupakan pemujaan terhadap-Nya, sepengetahuan-Nya, dalam kehadiran-Nya, adalah satu-satunya hal yang diinginkan-Nya dari mereka. Dewa hitam adalah simbol kegelapan [Tamas dalam bahasa Sanskrit]. Di bawahnya, jiwa telah membangun bagi dirinya sebagai rumah dari unsur bumi, yaitu tubuh fisik. Allah telah menciptakan dunia dari kegelapan. Sabz berarti hijau, simbol air, unsur pertama yang membentuk substansi atau materi. Sabzpari berarti jiwa yang ditarik ke dalam tubuh material. Bila jiwa itu melibatkan diri di dalam tubuh fisik, yang disimbolkan dengan Gulfam, maka jiwa yang terlibat dalam tubuh itu menjadi tenggelam dalam pengalaman-pengalaman dunia, dalam cinta dunia, egembiraan dunia, dan kenikmatan dunia. Karena tugas jiwa dilupakan olehnya dengan memburu dunia, Dewa Merah [daya destruksi] yang senantiasa menyebabkan perubahan dengan daya destruksinya, pada akhirnya menyebabkan perpisahan, dan kematian merupakan perpisahan antara tubuh dan jiwa. Jiwa, penghuni langit, menjadi tak bersayap akibat kutukan Ruh tertinggi, dan berjalan menuju dunia sampai ia disucikan dari lima elemen yang merupakan alam bawah. "Sebelum seorang manusia dilahirkan kembali dari air dan dari ruh, ia tak layak memasuki kerajaan Allah," demikian tertulis di dalam Injil. Baru setelah itu, jiwa terangkat ke atas semua pengaruh duniawi dan menari selamanya di hadapan Indra, Dewa para dewa.

Akibat cinta adalah derita. Cinta tanpa derita, bukanlah cinta. Pecinta yang tak mengalami penderitaan cinta bukanlah pecinta. "Cinta macam apa itu yang tak mengakibatkan penderitaan? Bahkan bila seseorang mabuk cinta, itu bukan apa-apa." Derita cinta adalah kenikmatan pecinta, hidupnya. Tanpa derita, itu adalah kematiannya. Amir, seorang penyair Hindustan, berkata, "Engkau akan mengingatku setelah aku mati, hai derita cintaku, karena aku telah memberimu tempat di dalam hatiku sepanjang hidupku, dan aku telah memberimu makan dengan daging dan darahku." Setiap orang dapat berbicara cinta dan mengaku mencintai, tetapi menahan ujian cinta dan menanggung derita cinta merupakan pencapaian pahlawan yang langka. Melihat derita cinta akan membuat orang pengecut lari terbirit-birit. Tiada jiwa yang bersedia menelan racun ini sebelum ia merasakan madu.

Orang yang mencintai karena tak berdaya adalah budak cinta, tetapi orang yang mencintai karena hal ini merupakan kegembiraannya, adalah raja cinta. Orang yang demi cinta mencintai seseorang gagal dalam menguasai cinta; orang yang dapat menutup hatinya dalam keadaan penuh dengan cinta meskipun tertarik oleh kekasihnya, adalah penakluk cinta. Orang-orang yang menghindari cinta dalam hidup karena takut akan deritanya, mengalami kerugian yang lebih besar dari pecinta, yang dengan kehilangan diri memperoleh semuanya. Orang tanpa cinta mula-mula kehilangan semua, hingga akhirnya diri mereka direnggut pula dari tangan mereka. Kehangatan suasana seorang pecinta, pesona suara dan perkataannya, semua datang dari kepedihan hatinya. Hatinya tidak hidup sebelum mengalami kepedihan. Manusia tidak hidup bila ia hidup dengan tubuh dan pikiran, tanpa hati. Jiwa merupakan segala cahaya, tetapi semua kegelapan disebabkan oleh kematian hati. Kepedihan membuatnya hidup. Hati yang telah penuh dengan kepedihan, bila dimurnikan dengan cinta, menjadi sumber segala kebaikan. Semua perbuatan baik berasal darinya.

Rumi menyebutkan enam ciri pecinta: tarikan napas (keluhan) yang dalam, ekspresi sedang, mata berair, sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur - semua menunjukkan isyarat derita dalam cinta. Hafiz berkata, "Semua kegembiraan dalam hidupku mereka akibat dari air mata yang tiada henti dan tarikan napas panjang sepanjang malam." Kesedihan pecinta itu tiada henti, dalam kehadiran dan dalam kepergian kekasihnya: dalam kehadiran karena khawatir berpisah, dan dalam kepergian ke merindukan kehadirannya. Menurut sudut pandang mistik, derita cinta adalah dinamit yang memecahkan hati, meskipun hati itu sekeras batu. Bila selubung keras yang menutupi cahaya dari dalam itu dipecah, aliran semua kegembiraan datang seperti mata air dari gunung.

Derita cinta pada saatnya akan menjadi kehidupan dari pecinta. Sakit dari luka hatinya memberinya kegembiraan yang tak dapat diberikan oleh apapun juga. Hati yang terbakar menjadi lampu penerang di jalan yang ditempuh pecinta, meringankan jalannya sampai ke tujuan. Kenikmatan hidup itu membutakan, hanya cinta saja yang membersihkan karat dari hati, cermin dari jiwa. Suatu ketika seorang gadis budak yang sedang merapikan tempat tidur seorang Raja, ingin mengalami bagaimana rasanya tidur di ranjang Raja. Kehangatan sinar matahari, angin yang bertiup lembut melalui jendela di kamar itu, bunga-bunga dan parfum ditaburkan di lantai, bau wangi dupa yang dibakar - membuatnya begitu nyaman hingga ia tertidur segera setelah meletakkan kepalanya di atas bantal. Ia tidur terlelap seperti mati. Ketika raja dan permaisuri datang, mereka terkejut atas keberanian dan kekurangajaran budak itu. Raja membangunkannya dengan sebuah cambukan, ditambah dengan dua cambukan lagi agar permaisuri tidak curiga. Budak itu terbangun dalam ketakutan dan berteriak keras, tetapi akhirnya ia tersenyum. Senyumnya lebih menimbulkan keheranan pada raja dan permaisuri daripada kesalahan yang dilakukannya. Mereka bertanya mengapa ia tersenyum, dan ia menjawab, "Aku tersenyum karena berpikir bahwa kenikmatan dan kegembiraan atas tempat tidur ini telah memberiku kecenderungan untuk menikmatinya beberapa saat, dan hukumannya adalah cambukan. Kemudian aku bertanya-tanya, karena anda mengalami kenikmatan tempat tidur ini seumur hidup, hukuman apa yang harus anda bayar untuk itu kepada Allah, Raja dari segala Raja."

Dalam kehidupan ini, setiap kenikmatan kecil harus dibayar dengan penderitaan yang jauh lebih besar. Karena itu seorang pecinta telah mengumpulkan semua derita sebagai tabungan, dan jalan yang ditempuhnya akan lebih nyaman sepanjang perjalanan dari bumi ke langit. Di sana ia akan menjadi kaya ketika banyak orang lain yang miskin. Gambaran para penyair Sufi melukiskan sifat cinta, pecinta, dan kekasih dengan kehalusan metafora, kerumitan, dan aturan dalam ekspresinya hingga puisi mereka menjadi gambaran nyata dari sifat manusia.

Pecinta selalu membayangkan sebagai korban kekejaman kekasih, yang tanpa kompromi menyingkirkan pesaing-pesaingnya, tidak memperhatikan penderitan pecintanya, tidak mendengarkan himbaunnya, dan bila ia menuruti, itu hanyalah sedikit sekali hingga tidak menyembuhkan tetapi malah membuat penderitaan makin parah. Pecinta membiarkan hatinya yang liar untuk dikasihani di depan kekasih, menempatkannya di telapak tangannya. Ia meletakkan hatinya di kaki sang kekasih yang memperlakukannya dengan dingin, sementara ia berseru, "Lebih lembut, kekasihku, yang lembut! Itu adalah hatiku, itu adalah hatiku." Hati si pecinta mengeluarkan air mata darah. Pecinta menekan hatinya, mencegahnya agar tidak berlari kepada kekasihnya. Pecinta itu mengeluh bahwa hatinya tak setia karena meninggalkannya dan pergi ke kekasihnya. Cinta mengemis agar kekasih mengembalikan hatinya bila hati itu sudah tak digunakannya lagi. Tempat tinggal hati adalah di dalam pelukan kekasihnya. Pecinta itu tidak tenang, gelisah, dan tak bahagia dalam derita perpisahan. Malam dan siang berlalu, semuanya berubah kecuali kepedihan pecinta. Kepedihan cinta merupakan satu-satunya temannya di setiap malam dalam perpisahan. Pecinta bertanya kepada malam perpisahan yang lelah,"Di mana engkau akan berada ketika aku mati?" Pecinta mengharapkan datangnya kematian sebelum kedatangan kekasih. Ia memohon agar kekasihnya menunjukkan diri kepadanya sesaat sebelum ia mati. Ia berdoa agar kekasihnya mengunjungi kuburannya, sekalipun bukan demi cinta, sekurang-kurangnya demi kehadiran.Pecinta hanya mengharap agar sang kekasih memahaminya, agar mengetahui seberapa besar cintanya dan penderitaan apa yang dialaminya. Pecinta senantiasa berharap agar kekasihnya datang kepadanya, atau ia sendiri dipanggil kepada kekasihnya. Bahkan, melihat seorang utusan cinta membuat kekasihnya marah. Kebaikan dan keburukan dunia tak berarti apa-apa bagi pecinta. Pecinta hanya mengeluh bila ketenangan, kesabaran,dan kedamaiannya dirampas, dan bila ia kehilangan agama, moral, dan Tuhannya. Pecinta terlihat tanpa topi dan sepatu, dan dianggap gila oleh kawan-kawannya. Ia merobek pakaiannya dalam penderitaan. Ia terikat dengan rantai oleh kegilaannya. Ia telah kehilangan kehormatan di mata semua orang. Luka dalam hati adalah mawar bagi pecinta, rasa sakit adalah keindahannya. Ia menangis agar dapat meneteskan air asin kepadanya untuk membuatnya cerdas, agar ia dapat sepenuhnya menikmati derita yang manis.

Pecinta cemburu kepada perhatian yang dicurahkan pesaing terhadap kekasihnya. Bila pecinta menceritakan kisah cintanya kepada kawan-kawannya, mereka akan menangis bersamanya. Pecinta mencium tanah yang diinjak kekasihnya ketika berjalan. Ia iri kepada kesempatan yang dimiliki sepatu kekasihnya. Pecinta menggelar permadani di pintu bagi sang kekasih. Alis sang kekasih adalah Mihrab, pintu lengkung pada masjid. Tahi lalat di pipi kekasih adalah noda ajaib yang mengungkapkan rahasia langit dan bumi kepadanya. Debu di bawah kaki kekasih baginya merupakan tanah sakral dari Ka'bah. Wajah kekasih adalah Al Qur'an yang terbuka, dan ia mambaca Alif, huruf dan huruf simbolik dari nama Allah, dalam sifat sang kekasih. Pecinta minum anggur Kauthar, yang keluar dari mata kekasih. Pandangan kekasih membuatnya mabuk. Suara gelang kekasih membuatnya hidup. Pecinta puas dengan melihat kekasih meskipun dalam mimpi, bukan dalam keadaan terjaga.

Bila pecinta berkata hampir mati, kekasih tak mempercayainya. Pecinta begitu 'habis' hingga malaikat Mankir dan Nakir tak dapat melacaknya di dalam kubur. Kekhawatiran akan pendekatan pecinta membuat sang kekasih mengumpulkan pakaiannya dan mengangkatnya ketika melintasi kuburan pecinta itu agar tangannya dapat meraihnya. Dengan tarikan napas yang dalam dari pecinta, langit dan bumi berguncang. Air matanya berubah menjadi bunga ketika menyentuh tanah. Derita adalah sahabatnya dalam hati malam, dan kematian adalah sahabatnya di sepanjang perjalanan hidup. Ia merencanakan dan membayangkan seribu hal untuk dikatakan kepada kekasih, mengenai kerinduannya, deritanya, kekagumannya, dan cintanya. Namun ketika melihat sang kekasih ia tersihir, lidahnya tak bergerak bibirnya terkatup, matanya terpaku sepenuhnya pada kekasihnya.

Kegembiraan dalam arti yang nyata hanya diketahui oleh seorang pecinta. Orang tanpa cinta hanya mengetahui namanya, ia tidak mengetahui kenyataannya. Perbedaannya seperti manusia dan batu. Dengan semua perjuangan dan kesulitan hidup, manusia lebih suka menjadi manusia daripada menjadi batu yang tak tersentuh oleh perjuangan atau kesulitan, karena dengan perjuangan dan kesulitan, kegembiraan hidup menjadi sangat besar. Dengan semua derita dan kesedihan yang harus ditemui pecinta di dalam cinta, kegembiraannya dalam cinta tak dapat dibayangkan, karena cinta adalah hidup, dan tanpa cinta berarti mati. "Para malaikat akan meninggalkan kebebasan mereka di surga, andai mereka tahu kegembiraan ketika cinta bersemi pada orang muda."

Ada dua obyek yang pantas dicintai: di dataran rendah, manusia, dan di dataran tinggi, Allah. Setiap orang di dunia mula-mula belajar mencintai di dataran rendah. Segera setelah seorang bayi membuka matanya, ia mencintai apa pun yang dilihatnya, semuanya tampak indah. Kemudian muncul cinta kepada sesuatu yang permanen, yang tak berubah, yang menuju ke kesempurnaan Allah. Namun kemudian manusia telah terpaku pada posisi yang sulit dalam hidup di mana terdapat pertentangan satu sama lain. Idola menarik dari satu sisi, dan gagasan kesempurnaan menarik dari sisi lain, dan jarang sekali orang yang terangkat dari kesulitan ini.

Hal ini dijelaskan dalam kehidupan Surdas, seorang pemusik dan penyair India. Dengan sangat mendalam ia mencintai seorang penyanyi dan senang melihatnya. Kecintaannya meningkat hingga ia tak dapat hidup tanpa dia dalam sehari saja. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang berlangsung berminggu-minggu dan seluruh negeri banjir. Tak ada cara untuk bepergian, jalan-jalan tak dapat dilalui, tetapi tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi Surdas untuk menemui kekasihnya seperti yang dijanjikan. Ia berangkat dalam hujan lebat, tetapi di tengah jalan ia terhalang sungai yang banjir dan tak dapat diseberangi. Tak ada perahu yang tampak; maka Surdas meloncat ke dalam sungai dan mencoba berenang. Ombak sungai yang kasar mempermainkannya, mengangkatnya dan menceburkannya seolah-olah ia jatuh dari gunung ke dalam jurang. Untung, ia menjatuhi sebuah mayat, yang diperlakukannya seperti sebatang kayu, ia meraihnya dan berpegang kepadanya. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang keras, ia sampai ke rumah kekasihnya. Ia menemukan pintu rumah itu terkunci. Waktu itu telah larut malam dan setiap suara akan mengganggu tetangga. Maka ia mencoba memanjat rumah dan masuk melalui jendela atas. Ia berpegang pada ular kobra yang tampak seperti tali yang tergantung, berpikir bahwa 'tali' itu segaja dipasang di sana untuknya oleh kekasihnya. Kekasihnya terkejut ketika melihatnya. Ia tak dapat mengerti mengapa pecintanya berhasil datang, dan kesan cintanya tampak semakin besar dari sebelumnya. Gadis itu seolah-olah diberi inspirasi oleh cinta lelaki itu. Di matanya, lelaki itu bukan lagi manusia, tetapi telah meningkat menjadi malaikat, terutama setelah ia tahu bahwa pecintanya telah menganggap mayat sebagai kayu dan ular kobra sebagai tali. Ia melihat bagaimana kematian dikalahkan oleh lelaki pecintanya. Ia berkata kepadanya, "Hai pemuda, cintamu lebih besar dari cinta rata-rata manusia, dan andai cintamu diperuntukkan bagi Allah, betapa besarnya kegembiraan yang akan engkau peroleh! Karena itu, bangkitlah, angkatlah cintamu terhadap bentuk dan materi, dan arahkan cintamu kepada ruh Allah." Lelaki itu mematuhi saran itu seperti anak kecil, meninggalkan gadis itu dengan berat hati dan sejak itu ia berkelana di dalam hutan-hutan di India.

Bertahun-tahun ia berkelana di hutan-hutan, menyebut-nyebut nama Kekasih ilahinya dan mencari perlindungan i dalam tangan-Nya. Ia mengunjung tempat-tempat sakral, tempat-tempat ziarah, dan secara kebetulan ia tiba di tepi sebuah sungai sakral, di tempat itu wanita-wanita dari kota datang setiap pagi ketika matahari terbit untuk mengisi tempayan mereka dengan air suci. Surdas, yang duduk di sana sambil memikirkan Allah, terpesona oleh keindahan salah satu wanita yang datang. Karena hatinya adalah lentera, ia tak perlu lama untuk menyala. Ia mengikuti wanita itu. Ketika memasuki rumahnya, wanita itu berkata kepada suaminya, "Seorang suci melihatku di sungai dan mengikutiku sampai ke rumah, dania masih berdiri di luar." Si suami segera keluar dan melihat lelaki itu. Ia berkata, "Hai Maharaja, apa yang membuatmu berdiri di situ? Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?" Surdas berkata, "Siapakah wanita yang tadi memasuki rumah ini?" Ia menjawab, "Dia isteriku; aku dan dia siap melayani orang suci seperti anda." Surdas berkata, "Suruhlah dia datang, hai orang yang diberkahi, agar aku dapat melihatnya sekali lagi."

Ketika wanita itu keluar, Surdas melihatnya sekali dan berkata, "Hai Ibu, bawakan aku dua buah [paku] pines." Dan ketika benda yang diminta itu diberikan kepadanya, ia membungkuk kepada pesona dan kecantikan wanita itu sekali lagi, kemudian menusukkan pines itu ke kedua matanya sambil berkata, "Hai mataku, engkau tak akan lagi melihat dan tergoda oleh keindahan duniawi dan membawaku turun dari surga ke bumi." Maka ia menjadi buta sejak itu; lagu-lagunya mengenai kesempurnaan ilahi masih terus hidup dan dinyanyikan oleh orang-orang India yang mencintai Allah; dan bila seorang Hindu buta, orang memanggilnya Surdas sebagai penghormatan. "Meskipun aku hanya mencintai satu, tetapi ia abadi," kata Mohi. Cinta hanya dapat ada bila hanya ada satu obyek di depan kita, bukan banyak obyek. Bila obyeknya banyak, tidak akan ada kesetiaan. "Bila di tempat bagi satu terdapat dua, keistimewaan yang satu itu hilang. Karena alas an itu, aku tak ingin potret kekasihku dibuat." Yang satu itu ialah Allah, yang tak berbentuk dan tak bernama, yang abadi, yang bersama kita selamanya.

Cinta bagi satu orang, betapa pun dalamnya, tentu berbatas. Kesempurnaan cinta terletak pada ukuran besarnya. "Kecenderungan cinta adalah untuk mengembang, dari satu atom hingga ke seluruh alam semesta, dari satu kekasih duniawi hingga Allah." Cinta kepada manusia adalah primitif dan tidak lengkap, tetapi diperlukan untuk memulai. Orang tak akan dapat berkata, "Aku mencintai Allah," bila ia tak memiliki cinta kepada sesama manusia. Namun ketika cinta mencapai kulminasi pada Allah, ia telah mencapai kesempurnaannya.

Cinta menciptakan cinta di dalam manusia dan lebih banyak lagi dengan Allah. Itu merupakan sifat cinta. Bila anda mencintai Allah, Allah mengirimkan cinta-Nya lebih banyak kepada anda. Bila anda mencarinya di malam hari, Dia akan mengikuti anda pada siang harinya. Di mana pun anda, dalam kegiatan anda, dalam transaksi bisnis, pertolongan, perlindungan dan kehadiran ilahi akan mengikuti anda.

Ungkapan cinta terletak di dalam kekaguman tanpa kata, kontemplasi, pelayanan, perhatian untuk menyenangkan kekasih, dan kehati-hatian untuk menghindari ketidaksukaan kekasih. Ungkapan cinta demikian oleh seorang pecinta akan menyenangkan kekasih, yang kebanggaannya tak dapat dipuaskan dengan cara lain. Keridhaan kekasih merupakan satu-satunya tujuan pecinta, tak ada harga yang terlalu mahal untuk memperolehnya.

Sifat keindahan adalah tak sadar akan nilai keberadaannya. Idealisasi pecinta-lah yang membuat keindahan itu bernilai, perhatian pecinta-lah yang menghasilkan kepastian keindahan, suatu kesadaran akan adanya kelebihan, dan gagasan, "Aku bahkan lebih hebat dari yang kupikir." Bila kebanggaan dari suatu keindahan duniawi dapat dipuaskan dengan kekaguman, maka kebanggaan akan keindahan langit dipuaskan dengan mengagungkan-Nya, keindahan sejati satu-satunya yang berhak atas segala pujian. Tiadanya kesadaran dari pihak manusia yang membuatnya melupakan keindahan-Nya dalam segala hal dan mengakui tiap keindahan secara terpisah, menyukai yang satu dan tak menyukai yang lain. Dalam pandangan orang yang tahu, mulai dari bagian keindahan terkecil hingga keindahan mutlak alam semesta, semua menjadi satu keberadaan tunggal Kekasih ilahi. Diceritakan bahwa Allah berfirman kepada Nabi, "Hai Muhammad, andai Kami tidak menciptakan kamu semua, Kami tidak akan menciptakan seluruh alam semesta." Apa artinya? Artinya, keindahan surgawi, keindahan seluruh Keberadaan, dicintai, dikenal dan diagungkan oleh pecinta ilahi, dipindahkan ke kepuasan yang sempurna, berkata dari dalam, "Bagus, engkau telah mencintai-Ku dengan sepenuhnya. Andai bukan bagi kamu, hai pengagum keberadaan-Ku, aku tak akan menciptakan alam semesta ini, di mana makhluk-Ku mencintai dan mengagumi satu bagian keberadaan-Ku di permukaan, dan keindahan-Ku yang penuh terhijab dari pandangan mereka." Dengan kata lain, Kekasih ilahi berfirman, "Aku tak punya pengagum, meskipun aku berdiri dihiasi. Sebagian mengagumi gelang-Ku, sebagian mengagumi anting-anting-Ku, sebagian mengagumi kalung-Ku, sebagian mengagumi cincin-Ku; tetapi Aku akan mnemberikan tangan-Ku kepadanya dan menganggap ia mengagumi diri-Ku sendiri. Pada sesiapa yang memahami-Ku dan mengagungkan keberadaan-Ku secara penuh, padanya terletak kepuasan-Ku." (bersambung)

Thursday, June 23, 2005

CINTA MANUSIA DAN CINTA ILAHI (5)

BAB 5
LAILA DAN MAJNUN

Kisah Laila dan Majnun diceritakan di Timur selama ribuan tahun dan selalu membawa kekaguman besar, karena ini bukan sekedar sebuah kisah cinta, melainkan juga sebuah pelajaran cinta. Bukan cinta sebagaimana umumnya dipahami orang, tetapi cinta yang berada di atas bumi dan langit. Seorang pemuda bernama Majnun sejak kecil telah menunjukkan cinta dalam sifatnya, mengungkapkan tragedi hidup kepada mata orang yang jeli. Ketika Majnun bersekolah, ia menyukai Laila. Percikan api itu akhirnya menjadi api, dan Majnun merasa tidak tenang bila Laila sedikit terlambat datang ke sekolah. Dengan buku di tangannya, Majnun mengarahkan matanya ke pintu masuk, dan hal ini diketahui banyak orang. Api itu kemudian menjadi api besar dan kemudian hati Laila menyala oleh cinta Majnun. Mereka saling berpandangan. Laila tak melihat seorang pun di dalam kelas kecuali Majnun, demikian pula sebaliknya, Majnun hanya melihat Laila. Apabila membaca buku mata Majnun hanya melihat nama Laila; dalam menulis ketika didikte guru, Laila hanya menuliskan semua baris dengan nama Majnun. "Semua yang lain menghilang ketika gagasan mengenai kekasih menguasai pikiran pecinta."

Semua murid yang lain di kelas saling berbisik sambil menunjuk kepada mereka berdua. Para guru khawatir dan menulis kepada orang tua mereka bahwa anak-anak mereka mabuk cinta dan saling menyukai, dan bahwa tampaknya tak ada cara untuk mengalihkan perhatian mereka dari urusan cinta yang telah menghentikan setiap kemungkinan perkembangan dalam belajar. Orang tua Laila langsung melarang gadis itu pergi ke sekolah, dan mengawasinya secara ketat. Dengan cara ini mereka menjauhkan Laila dari Majnun, tetapi siapa yang mampu menjauhkan Majnun dari hati Laila? Ia tidak memikirkan apapun selain Majnun. Tanpa Laila, Majnun tidak tenang dan menangis di dalam hatinya, semua orang di sekolah menjadi kacau, sampai orang tuanya membawanya pulang dari sekolah, karena rupanya tak ada sesuatu yang tersisa baginya di sekolah. Orang tua Majnun memanggil dokter, tabib, peramal, pesulap, dan mencurahkan uang di kaki mereka sambil memohon agar Majnun dibebaskan dari memikirkan Laila. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan? "Lukman [tabib besar pada masa silam] sekalipun, tidak memiliki obat untuk menyembuhkan sakit karena cinta." Tak seorang pun mampu menyembuhkan pasien cinta. Teman-teman datang, para kerabat datang, pemberi semangat datang, penasihat ahli datang; semua mencoba sebaik mungkin untuk melenyapkan Laila dari pikiran Majnun, tetapi sia-sia. Seseorang datang dan berkata kepadanya, "Hai Majnun, mengapa engkau sedih atas perpisahan dari Laila? Ia tidak cantik. Aku dapat menunjukkan kepadamu seribu gadis yang lebih cantik dan lebih menarik, dan engkau dapat memilih salah satu di antara mereka." Majnun menjawab "Untuk melihat kecantikan Laila, diperlukan mata Majnun." Ketika semua upaya tak tersisa untuk dilakukan, orang tua Majnun bermaksud mencari perlindungan Ka'bah sebagai upaya terakhir. Mereka membawa Majnun berziarah ke Ka'bat-ullah. Ketika mereka sampai ke dekat Ka'bah terjadi kerumunan besar untuk melihat mereka. Orang tua itu mendekat ke Ka'bah dan berdoa, "Ya Allah, Engkau Mahapengasih dan Mahapenyayang, maka ridhailah anak kami satu-satunya, agar hati Majnun terbebas dari derita cintanya kepada Laila." Semua orang mendengarkan doa itu dengan penuh perhatian, dan ingin tahu apa yang akan dikatakan Majnun. Kemudian orang tua itu berkata kepada Majnun, "Anakku, berdoalah agar cintamu kepada Laila dilenyapkan dari hatimu." Majnun menjawab, "Apakah aku akan bertemu dengan Laila bila aku berdoa?" Dengan sangat kecewa mereka menjawab, Berdoalah, anakku, apapun yang engkau kehendaki." Maka Majnun mendekat ke Ka'bah dan berkata, "Aku menginginkan Laila," dan semua orang yang hadir berkata, "Amiin." "Dunia mengumandangkan keinginan pecinta." Setelah mencari segala cara untuk menyembuhkan Majnun dari kegilaannya terhadap Laila, akhirnya mereka berpikir bahwa cara terbaik adalah mendekati kedua orang tua Laila, karena ini merupakan harapan terakhir untuk menyelamatkan hidup Majnun. Mereka mengirim pesan kepada orang tua Laila yang berlainan agama, "Kami telah melakukan semua yang kami bias untuk melepaskan Laila dari pikiran Majnun, tetapi sejauh ini tak berhasil, dan tak ada harapan untuk berhasil kecuali satu hal, yaitu menikahkan Majnun dengan Laila." Mereka membalas dengan berkata, "Meskipun hal ini akan membuat kami dibenci oleh orang-orang kami, tetapi rupanya Laila tak dapat melupakan Majnun barang sesaat, dan sejak kami mengeluarkannya dari sekolah, ia terus bersedih setiap hari. Karena itu kami tidak keberatan untuk menikahkan Laila dengan Majnun, dengan satu syarat yaitu Majnun harus bertindak waras."

Mendengar itu, orang tua Majnun sangat bergembira dan minta kepada Majnun agar bersikap wajar agar orang tua Laila tidak menyangka bahwa ia gila. Majnun setuju untuk melakukan apapun yang dikehendaki orang tuanya asal diperbolehkan menemui Laila. Sesuai dengan adat Timur, prosesi pernikahan dilakukan di rumah pengantin wanita, dan di sana tempat duduk khusus disediakan bagi pengantin laki-laki yang ditutup dengan rangkaian bunga. Namun, seperti kata orang Timur, Allah tidak suka kepada pesaing cinta, maka takdir tidak memberi kedua orang itu kebahagiaan atas kebersamaan. Anjing yang biasanya mengikuti Laila ke sekolah, kebetulan memasuki ruang tempat pasangan itu duduk. Ketika Majnun melihat anjing itu, emosinya meledak; ia tidak dapat duduk di kursi tinggi sambil melihat anjing. Ia berlari kepada anjing itu, mencium kakinya dan mengalungkan rangkaian bunga ke leher anjing itu. Terlihat jelas bahwa Majnun memuja anjing itu. "Debu di tempat tinggal kekasih adalah tanah Ka'bah bagi pecinta." Kelakuan itu sepintas membuktikan bahwa ia gila. Karena bahasa cinta itu sampah bagi orang tanpa cinta, maka perbuatan Majnun dipandang oleh mereka yang hadir sebagai ketololan. Mereka semua sangat kecewa, orang tua Laila menolak untuk menikahkan anaknya, dan Majnun dibawa kembali pulang.

Pernyataan kecewa itu membuat orang tua Majnun kehilangan harapan, dan mereka tidak lagi mengawasinya karena melihat bahwa hidup atau mati, keduanya sama saja. Hal ini memberi kebebasan kepada Majnun untuk berkelana ke kota mencari Laila, bertanya kepada setiap orang untuk menunjukkan tempat Laila. Kebetulan ia bertemu dengan pengantar surat yang membawa surat-surat di punggung unta. Ketika Majnun menyanyakan alamat Laila, orang itu menjawab, "Orang tuanya telah meninggalkan negeri ini dan sekarang tinggal seratus mil dari sini." Majnun memohon kepadanya untuk menyampaikan pesan kepada, dan dijawab, "Dengan senang hati." Namun ketika Majnun mengucapkan pesan itu, ia perlu waktu yang amat sangat lama. "Pesan cinta tidak mengenal akhir." Pengantar surat itu separo menertawakan dan separo bersimpati kepada ketulusan cintanya. Meskipun Majnun yang berjalan bersama untanya, merupakan teman baginya dalam perjalanan panjang, tetapi karena kasihan, ia berkata, "Engkau telah berjalan sepuluh mil dengan menyampaikan pesanmu itu kepadaku; berapa jauh yang harus kutempuh untuk menyampaikannya kepada Laila? Kini pergilah, aku akan menyampaikannya." Kemudian Majnun berjalan kembali, tetapi sebelum berjalan seratus meter, ia berputar balik dan berseru, "Hai kawanku yang baik, aku lupa mengatakan beberapa hal yang engkau dapat menyampaikannya kepada Laila." Ketika pesan itu disampaikan, ia telah menempuh sepuluh mil lagi. Pengantar surat itu berkata, "Aku kasihan kepadamu, kembalilah, engkau telah berjalan sangat jauh. Bagaimana aku dapat mengingat semua pesan yang engkau sampaikan? Bagaimana pun, aku akan berusaha sebaik-baiknya.

Kini kembalilah, engkau sudah sangat jauh dari rumahmu." Majnun berjalan balik beberapa meter, dan lagi-lagi ia kembali ingat sesuatu untuk disampaikan kepada pembawa pesan, lalu mengejarnya. Begitu seterusnya hingga ia sendiri tiba di tempat yang dituju. Pengantar surat itu kagum kepada cinta yang tulus, dan berkata, "Engkau telah tiba di tanah tempat Laila tinggal. Kini tinggallah di masjid runtuh ini. Ini masih luar kota. Bila engkau pergi bersamaku ke kota mereka akan menyiksamu sebelum engkau bertemu Laila. Sebaiknya engkau beristirahat di sini sekarang, karena engkau telah berjalan jauh, dan aku akan menyampaikan pesanmu kepada Laila ketika bertemu dengannya." "Orang yang mabuk cinta tak mengenal waktu atau ruang." Majnun patuh, dan ingin beristirahat, tetapi gagasan bahwa ia berada di kota tempat tinggal Laila membuatnya bertanya-tanya ke arah mana ia meregangkan kakinya: utara, selatan, timur, barat, dan berpikir, "Andai Laila berada di sisi ini, aku akan tidak sopan bila meregangkan kakiku ke arah sana. Maka sebaiknya aku menggantung kaki dengan tali dari atas, karena pasti ia tidak di sana." "Ka'bah seorang pecinta adalah tempat tinggal kekasihnya." Ia merasa haus, dan tak dapat memperoleh air kecuali air hujan yang terkumpul di dalam bak yang tak digunakan. Ketika pengantar surat memasuki rumah Laila, ia melihat dan berkata kepada Laila, "Aku harus bersusah payah untuk dapat berbicara kepadamu. Pecintamu, Majnun, seorang pecinta yang tiada bandingannya di dunia, mengirimkan pesan untukmu, dan ia terus berbicara di sepanjang perjalanan dan ia berjalan kaki sejauh kota ini." Laila berkata, "Demi langit, kasihan Majnun! Apa jadinya dia." Ia bertanya kepada perawat tuanya, "Bagaimana seorang yang berjalan seratus mil tanpa berhenti?" Perawat itu berkata, "Orang itu pasti mati." Laila berkata, "Apakah ada obatnya?" Dijawab, "Ia harus minum air hujan yang terkumpul selama setahun dan sudah diminum ular. Kemudian kakinya harus diikat dan digantung di udara dengan kepala di bawah dalam waktu yang lama. Ini mungkin menyelamatkan nyawanya." Laila berkata, "Oh, tetapi betapa sulit mendapatkannya!" Allah, yang Dia sendiri adalah cinta, adalah pembimbing Majnun, dan karena itu semua yang datang kepada Majnun adalah yang terbaik baginya. "Sesungguhnya cinta adalah penyembuh dari lukanya sendiri." Pagi harinya Laila menyisihkan makanannya, dan mengirimkannya secara sembunyi-sembunyi melalui pelayan yang dipercaya, bersama dengan pesan untuk Majnun bahwa Laila rindu untuk bertemu dengannya sebesar Majnun merindukannya, yang berbeda hanya rantai yang mengikat. Segera setelah ia memperoleh kesempatan, ia akan datang seketika. Pelayan itu pergi ke masjid runtuh dan melihat dua orang duduk di sana, yang satu tak peduli dengan sekelilingnya, yang lain orang gendut dan besar. Ia berpikir, Laila tidak mungkin mencintai seorang pemimpi karena ia sendiri tak tertarik. Namun untuk meyakinkan, ia bertanya, siapa yang bernama Majnun. Majnun tenggelam dalam pikirannya sendiri dan jauh dari perkataan itu, tetapi lelaki yang lain, yang kelelahan bekerja, sangat senang melihat keranjang makanan di tangan pelayan itu, dan berkata, "Siapa yang kau cari?" Dijawab, "Aku disuruh memberikan makanan ini kepada Majnun. Apakah anda Majnun?" Ia menjulurkan tangannya untuk menerima keranjang itu dan berkata, "Akulah yang engkau cari," dan bercanda dengan pelayan itu, dan pelayan itu senang.

Ketika pelayan itu kembali, Laila bertanya, "Apakah engkau berikan makanan itu kepadanya?" Dijawab, "Ya, aku memberikannya." Kemudian setiap hari Laila mengirim porsi yang lebih besar dari makanannya kepada Majnun, yang diterima dengan sukacita oleh lelaki gendut itu ketika istirahat dari kerja. Suatu hari Laila bertanya kepada pelayannya, "Engkau tak pernah bercerita apa yang dikatakannya dan bagaimana ia makan." Dijawab, "Ia berkata bahwa ia sangat berterima kasih dan sangat menghargai pemberian itu. Bicaranya sangat menyenangkan. Anda tak perlu khawatir, ia menjadi semakin gendut setiap hari." Laila berkata, "Tetapi Majnun-ku tak pernah gendut, ia tak bisa gemuk, dan ia berpikir terlalu dalam untuk bisa berkata yang manis kepada orang lain. Ia terlalu sedih untuk berkata." Seketika Laila curiga bahwa makanannya telah diberikan kepada orang lain. ia berkata, "Adakah orang lain di sana?" Pelayan menjawab, "Ya, ada satu orang lain yang duduk di sana, tetapi ia tampaknya berada di dalam dirinya sendiri. Ia tak pernah memperhatikan siapa yang datang dan pergi, dan ia tidak mendengarkan orang lain. Tidak mungkin ia adalah orang yang anda cintai." Laila berkata, "Kupikir dialah orangnya. Sayang, selama ini engkau memberikan makanan itu kepada orang lain! Baiklah, untuk meyakinkan, hari ini aku akan meletakkan pisau di atas piring, bukan makanan, dan katakan kepada orang yang kau beri makanan, 'Laila memerlukan beberapa tetes darahmu untuk menyembuhkan penyakitnya.'"

Seperti biasa, ketika pelayan itu datang, lelaki gendut itu menyambut dengan gembira untuk mengambil makanannya, tetapi ia terkejut ketika melihat pisau, bukan makanan. Pelayan berkata bahwa beberapa tetes darah Majnun diperlukan untuk menyembuhkan penyakit Laila. Lelaki itu berkata, "Bukan, aku bukan Majnun. Dialah Majnun. Mintalah kepadanya." Dengan lugu pelayan itu datang kepadanya dan berkata keras, "Laila membutuhkan beberapa tetes darahmu untuk mengobatinya." Majnun segera mengambil pisau itu dan berkata, "Betapa beruntungnya aku bahwa darahku bermanfaat bagi Laila. Ini tak berarti apa-apa, bahkan hidupku pun akan kukorbankan untuk menyembuhkannya, aku akan merasa beruntung dalam memberikannya." "Apapun yang dilakukan pecinta bagi kekasihnya, itu tak pernah terlalu besar." Ia menusuk tangannya di beberapa tempat, tetapi, kelaparan berbulan-bulan telah menghabiskan darahnya, yang tersisa hanya kulit dan tulang. Ketika banyak tempat sudah ditusuk, dengan susah payah setetes darah dapat keluar. Ia berkata, "Itulah yang tersisa. Ambillah." "Cinta berarti penderitaan, tetapi pecinta sendiri berada di atas semua penderitaan."

Kedatangan Majnun lama-lama diketahui banyak orang, dan ketika orang tua Laila tahu, mereka berpikir, "Tentu Laila akan kehilangan pikiran bila ia mencari Majnun." Maka mereka memutuskan untuk pindah ke luar kota untuk beberapa lama, mengira bahwa Majnun akan pulang ketika tidak menjumpai Laila tak ada di tempatnya. Sebelum berangkat, Laila mengirim pesan kepada Majnun, "Kami ke luar kota untuk sementara waktu, dan aku sangat sedih tak dapat menjumpaimu. Satu-satunya kesempatan bertemu adalah bila kita bertemu di tengah perjalanan, bila engkau berangkat terlebih dulu dan menungguku di [gurun] Sahara." Majnun dengan senang hati berangkat ke Sahara, dengan harapan besar untuk bertemu dengan Laila sekali lagi. Ketika rombongan tiba di gurun dan berhenti sejenak di sana, pikiran orang tua Laila sedikit lega, dan mereka melihat bahwa Laila juga lebih bahagia atas perubahan itu, sebagaimana mereka kira, tanpa mengetahui alasan sebenarnya.

Laila pergi berjalan-jalan di Sahara dengan wanita pelayannya, dan tiba-tiba datanglah Majnun, yang matanya telah lama mengawasi kedatangannya. Laila datang dan berkata, "Majnun, aku di sini." Tiada daya di dalam lidah Majnun untuk mengungkapkan kegembiraannya. Ia memegang tangan Laila dan merapatkannya ke dadanya, sambil berkata, "Laila, engkau tak akan meninggalkan aku lagi?" Dijawab, "Majnun, aku hanya dapat datang sebentar. Jika aku di sini lebih lama, orang-orangku akan mencariku dan hidupmu tidak aman." Majnun berkata, "Aku tak peduli dengan hidupku. Engkaulah hidupku, tinggallah, jangan tinggalkan aku lagi." Laila berkata, "Majnun, percayalah, aku pasti akan kembali." Majnun melepaskan tangan Laila dan berkata, "Tentu, aku percaya padamu."

Maka Laila meninggalkan Majnun dengan berat hati, dan Majnun yang telah begitu lama hidup di atas daging dan darahnya sendiri, tak dapat lagi berdiri tegak; ia jatuh ke belakang menimpa sebatang pohon yang kemudian menopangnya, dan ia tetap di sana, hidup hanya di atas harapan. Tahun-tahun berlalu tubuh Majnun yang telah setengah mati terkena pengaruh panas, dingin, hujan, salju dan badai. Tangan yang memegangi cabang pohon menjadi cabang itu sendiri, tubuhnya menjadi bagian dari pohon. Laila tak merasa senang dalam perjalanan, dan orang tuanya kehilangan harapan akan hidupnya. Laila hanya hidup atas satu harapan, agar ia dapat memenuhi janjinya kepada Majnun ketika berpisah dan berkata, "Aku akan kembali." Ia bertanya-tanya apakah Majnun hidup atau mati, atau untuk pergi, atau apakah telah dibawa pergi hewan Sahara.

Ketika mereka kembali, mereka berhenti di tempat yang sama. Hati Laila penuh dengan kegembiraan dan kesedihan, harapan dan kekhawatiran. Ketika ia mencari tempat yang dulu, ia bertemu seorang penebang kayu yang berkata kepadanya, "Hai, jangan pergi ke sana. Ada hantu di sana." Laila berkata, "Seperti apa?" Dijawab, "Sebuah pohon, tetapi juga seorang manusia, dan ketika aku menebang sebuah cabang pohon itu dengan kapakku, aku mendengar ia berkata dengan rintihan yang dalam, 'O Laila.'" Mendengar ini membuat Laila terharu tak terperikan. Ia berkata bahwa ia akan ke sana, dan ketika telah dekat ia melihat Majnun telah hampir berubah menjadi pohon. Daging dan darahnya telah sirna, hanya kulit dan tulang yang tersisa. Cara kontaknya dengan pohon membuat ia mirip dengan cabang pohon. Laila memanggilnya keras-keras, "Majnun!" Dijawab, "Laila!" Ia berkata, "Aku datang seperti yang kujanjikan, hai Majnun." Majnun menjawab, "Aku Laila." Laila berkata, "Majnun, pakailah akalmu. Aku-lah Laila. Lihatlah aku." Majnun berkata, "Apakah engkau Laila? Kalau begitu, aku bukan," dan ia meninggal. Melihat kesempurnaan cinta ini, Laila tak dapat hidup lagi barang sesaat. Ia meneriakkan nama Majnun kemudian jatuh dan mati. "Sang kekasih adalah semua dalam semua, pecinta hanya menutupinya. Kekasih adalah semua yang hidup, dan pecinta adalah benda mati." (bersambung)

Wednesday, June 22, 2005

CINTA MANUSIA DAN CINTA ILAHI (6)

BAB 6
CINTA ILAHI

Cinta diarahkan oleh kecerdasan. Karena itu tiap orang memilih obyek cintanya sesuai dengan tingkat evolusinya. Obyek itu tampak baginya paling berhak atas cinta menurut tingkatan evolusinya. Di Timur ada pepatah, "Sebagaimana jiwa, demikianlah malaikatnya." Keledai lebih menyukai rumput berduri daripada mawar.

Kesadaran yang bangkit di alam materi memiliki obyek cinta hanya pada keindahan duniawi. Kesadaran yang bekerja melalui pikiran menemukan obyeknya dalam gagasan dan di antara orang-orang yang berpikir. Kesadaran yang bangkit melalui hati menyukai cinta dan orang-orang yang mencintai. Kesadaran yang bangkit di dalam jiwa mencintai ruh dan spiritual.

Cinta tanpa kata, yang merupakan inti ilahi di dalam manusia, menjadi aktif dan hidup ketika melihat keindahan. Keindahan dapat dijelaskan sebagai kesempurnaan, kesempurnaan dalam setiap aspek keindahan. Cinta itu sendiri bukanlah Allah atau esensi Allah, tetapi juga keindahan, bahkan dalam aspek yang terbatas, membeberkan diri sebagai perwujudan Keberadaan yang sempurna. Kerajaan mineral berkembang menjadi emas, perak, berlian, dan permata, menunjukkan keindahannya. Buah dan bunga, manis dan harumnya menunjukkan kesempurnaan kerajaan tumbuh-tumbuhan. Bentuk, corak, dan kemudaan menunjukkan kesempurnaan kerajaan hewan. Keindahan kepribadian merupakan kesempurnaan yang nyata di dalam manusia. Beberapa orang di dunia ini hidupnya tenggelam dalam pencarian emas, perak, dan batu permata. Mereka rela mengorbankan apapun dan siapapun untuk memperoleh obyek cinta mereka. Beberapa orang lain hidupnya terserap dalam keindahan buah-buahan, bunga, dan taman. Mungkin mereka tak tertarik obyek lain. Beberapa orang terserap dalam mengagumi keindahan dan kemudaan lawan jenis kelaminnya, dan hal-hal lain tampak tak bernilai. Orang lain terpaku pada keindahan kepribadian seseorang, dan telah sepenuhnya membaktikan diri kepada orang yang mereka cintai baik di sini maupun di hari kelak. Semua orang mempunyai obyek cinta menurut standar keindahannya sendiri, dan setiap orang mencintai kesempurnaan Keberadaan ilahi dalam aspek tertentu. Ketika orang melihat ini, tak seorang pun, bijak atau bodoh, pendosa atau orang baik, tak dapat disalahkan dalam pandangannya. Ia melihat dalam setiap hati jarum kompas yang mengarah ke Keberadaan yang sama. "Allah itu indah dan Dia menyukai keindahan," seperti disebutkan di dalam Hadits.

Manusia tak pernah mampu mencintai Allah di surga bila simpatinya belum bangkit terhadap keindahan di bumi. Seorang perawan desa sedang pergi untuk menemui kekasihnya. Ia melewati seorang Mullah yang sedang melakukan shalat. Karena tidak tahu, ia berjalan di depan Mullah itu, suatu hal yang dilarang oleh agama. Mullah itu sangat marah, hingga ketika gadis itu kembali lewat di dekatnya, ia memarahinya. Ia berkata. "Alangkah berdosanya, hai gadis muda, berjalan di depanku ketika aku sedang shalat." Gadis itu berkata, "Apa artinya shalat?" Dijawab, "Aku sedang memikirkan Allah, Tuhan langit dan bumi." Gadis itu berkata, "Maafkan aku, aku belum tahu Allah dan shalat bagi-Nya, tetapi tadi aku sedang berjalan menuju kekasihku dan memikirkan kekasihku, hingga aku tak melihatmu sedang shalat. Aku heran bagaimana anda yang sedang memikirkan Allah dapat melihatku?" Perkataan gadis itu sangat berkesan pada Mullah hingga ia berkata, "Sejak saat ini, hai gadis, engkau adalah guruku. Akulah yang harus belajar darimu." Suatu ketika seseorang datang kepada Jami dan minta agar dijadikan muridnya. Jami berkata, "Pernahkah engkau mencintai seseorang dalam hidupmu?" Ia menjawab, "Tidak." Jami berkata, "Kalau begitu, pergilah dan cintailah seseorang, dan kemudian datanglah kepadaku." Dengan alasan itulah para guru besar sering mengalami kesulitan dalam membangkitkan cinta kepada Allah di dalam rata-rata manusia. Orang tua memberi boneka kepada anak perempuannya agar anak itu tahu bagaimana memberi pakaian kepadanya, bagaimana menyayanginya, bagaimana menjaganya, bagaimana mencintai dan mengaguminya; hal ini melatih anak agar kelak menjadi ibu yang mencintai. Tanpa latihan ini, yang kemudian akan menjadi sulit. Cinta ilahi merupakan hal yang asing bahwa rata-rata orang karena sentuhan keibuan terhadap anak gadisnya tidak dapat dimainkan secara penuh terhadap boneka. Seorang murid telah lama melayani pembimbing spiritual, tetapi ia tak membuat kemajuan dan tidak menerima inspirasi. Ia menghadap gurunya dan berkata, "Aku telah melihat banyak sekali murid yang menerima inspirasi, tetapi aku ini begitu malang hingga tak memperoleh kemajuan sama sekali, maka kini aku harus menyerah dan meninggalkanmu." Guru itu memintanya agar menghabiskan hari-hari terakhir di dalam sebuah rumah tertentu, dan setiap hari ia mengirimkan makanan yang lezat dan berkata agar ia menghentikan latihan spiritual, agar memperoleh kehidupan yang nyaman dan santai. Pada hari terakhir ia mengirimi murid itu sekeranjang buah melalui seorang gadis cantik. Gadis itu menata buah-buahan dan segera pergi meskipun murid itu berusaha untuk menahannya. Kecantikan dan pesonanya sangat besar, hingga murid itu sangat mengagumi dan terpikat olehnya, dan ia tak memikirkan hal-hal lain. Setiap jam dan setiap menit murid itu hanya rindu untuk bertemu lagi dengannya. Kerinduannya bertambah setiap saat. Ia lupa untuk makan, ia dipenuhi air mata dan napas panjang, karena hatinya kini menjadi hangat dan lumer oleh api cinta. Setelah beberapa lama, ketika guru mengunjungi murid itu, dengan satu pandangan ia memberi inspirasi kepadanya. "Baja pun dapat dibentuk bila dipanasi di dalam api," demikian pula dengan hati yang dilumerkan dengan api cinta. Ada anggur cinta yang disebut Sherab-i Kauthar, anggur yang terdapat di dalam surga. Ketika mabuk cinta meningkat di dalam manusia, ia disebut cinta buta atau gila dalam cinta, karena orang yang melihat ilusi di permukaan menganggap diri sendiri-lah yang sadar dan terjaga. Tetapi keterjagaan mereka adalah terhadap tipuan, bukan terhadap realita. Meskipun pecinta disebut gila, kegilaannya terhadap satu obyek dunia ilusi akan membuatnya secara bertahap terbebas dari semua tipuan di sekelilingnya. Bila ia berhasil, ia akan menikmati penyatuan dengan kekasihnya di dalam visi bahagianya. Maka dengan seketika tersingkaplah selubung [hijab] yang menutupi pandangannya terhadap obyek yang dicintainya. Al Qur'an menyebutkan, "Kami akan mengangkat hijab dari matamu dan pandanganmu akan menjadi tajam." Secara alami, seorang pecinta terobsesi oleh seseorang yang dikaguminya, yang ia ingin bersatu dengannya. Tetapi tak ada satu obyek pun di dunia ini yang sempurna hingga dapat memuaskan keinginan hati yang mencintai. Ini merupakan batu penghalang yang menyebabkan setiap pemula gagal dalam mencintai. Pejalan yang berhasil di jalur cinta adalah orang-orang yang cintanya begitu indah hingga memberi keindahan yang tidak didapat di dalam idaman mereka. Dengan melakukan ini, pada saatnya pecinta akan terangkat ke atas keindahan kekasih yang berubah-ubah dan terbatas, tetapi mulai melihat ke dalam keberadaan terdalam kekasihnya. Dengan kata lain, bagian luar kekasih hanyalah sarana untuk menarik cinta dari hati pecinta, tetapi cinta itu mengantarkannya dari luar ke lapisan terdalam dari kesempurnaan cintanya. Bila di dalam idaman itu pecinta telah merasakan keberadaan yang tak terbatas dan sempurna, apakah ia mencintai manusia atau Allah, sesungguhnya ia adalah pecinta yang sempurna. Di sini perjalanan melalui jalur idealisme berakhir, dan perjalanan melalui kesempurnaan ilahi dimulai, karena kesempurnaan Allah diperlukan bagi pencapaian kesempurnaan hidup. Kemudian manusia mencari obyek cinta yang sempurna, mengidealkan Allah, Keberadaan tunggal, Yang Tak Terhingga, yang berada di atas semua cahaya dan kegelapan dunia, di atas baik dan buruk, yang bebas dari semua keterbatasan, bebas dari kelahiran dan kematian, tak berubah, tak terpisahkan dari kita, Maha meliputi (berada), selalu hadir di depan mata pecinta-Nya.

Bila cinta itu sejati, ia melenyapkan pementingan diri sendiri, karena ini merupakan satu-satunya solusi untuk menghapus ego. Ungkapan "jatuh cinta" [fall in love] membawa gagasan sifat cinta yang sesungguhnya. Benar-benar jatuh dari ketinggian ego ke tanah ketiadaan, tetapi sekaligus kejatuhan ini akan membuatnya naik, karena seberapa dalamnya pecinta jatuh, sedemikian pula tingginya ia akan meningkat pada akhirnya. Pecinta yang jatuh dalam cinta adalah seperti benih yang jatuh ke tanah. Keduanya tampak rusak, tetapi keduannya pada saatnya akan tumbuh bersemi dan menghasilkan buah bagi dunia yang senantiasa lapar. Musuh terbesar manusia adalah ego-nya, gagasan mengenai diri sendiri. Ini merupakan kuman yang menghasilkan semua keburukan dalam manusia. Perbuatan baik seorang egois berubah menjadi dosa, dan dosa kecilnya berubah menjadi kejahatan besar. Semua agama dan filsafat mengajar manusia untuk menindasnya, dan tak ada alat yang dapat melumatkannya dengan lebih baik daripada cinta. Tumbuhnya cinta adalah kematian ego. Cinta yang sempurna sepenuhnya membebaskan pecinta dari pementingan diri sendiri, karena cinta dapat disebut juga dengan peniadaan [annihilation]. "Sesiapa yang memasuki sekolah cinta, pelajaran pertama yang diterima adalah menjadi bukan apa-apa."

Bersatu tidak mungkin tanpa cinta, karena hanya cinta yang dapatmempersatukan. Setiap ungkapan cinta menandakan pencapaian penyatuandengan obyeknya, dan dua obyek tak dapat bersatu kecuali salah satunya menjadi bukan apa-apa. Tak seorang pun mengetahui rahasia hidup inikecuali pecinta. Iraqi berkata, "Ketika aku tanpa cinta pergi ke Ka'bahdan mengetuk pintu gerbang, sebuah suara datang: 'Apa yang engkau lakukan di rumahmu hingga engkau datang ke sini?' Dan ketika aku pergi,karena aku lenyap dalam cinta, dan mengetuk pintu gerbang Ka'bah,datanglah suara: 'Datanglah, datanglah hai Iraqi, engkau adalah bagian dari kami.'"

Bila ada sesuatu yang melawan kebanggaan ego, ia adalah cinta. Sifat cinta adalah berserah diri. Dunia keragaman yang membagi kehidupan menjadi bagian-bagian yang terbatas, menyebabkan setiap yang lebih kecil berserah diri kepada yang lebih besar. Setiap yang lebih besar, baginya masih ada sesuatu yang lebih besar darinya; dan bagi setiap yang lebih kecil masih ada yang lebih kecil darinya. Sebagaimana setiap jiwa secara alami cenderung untuk berserah kepada kesempurnaan dalam semuatingkatan, satu-satunya masalah adalah pakah ia mau atau tidak mau berserah diri. Yang pertama datang dari cinta, yang kedua datang dari ketakberdayaan yang membuat hidup susah. Para Sufi tersentuh ketika membaca di dalam Al Qur'an bahwa Keberadaan sempurna bertanya kepada jiwa-jiwa yang tak sempurna, anak-anak Adam, "Siapakah Tuhanmu?" Menyadari ketidaksempurnaannya, mereka menjawab dengan merendah, "Engkaulah tuhanku." Maka berserah diri adalah kutukan, bila orang dipaksa untuk menyerah dengan dingin. Tetapi hal yang sama menjadi kegembiraan yang terbesar bila dilakukan dengan cinta dan dengan sukarela.

Cinta merupakan praktek moral Suluk, jalan kebaikan. Kegembiraan pecinta berada di dalam ridha kekasihnya. Pecinta puas bila kekasih terpuaskan. "Siapa yang dalam hidup memberkahi orang yang mengutuknya? Siapa yang dalam hidup mengagumi orang yang membencinya? Siapa yang dalam hidup setia kepada orang yang tak setia? Tak lain dari seorang pecinta." Dan pada akhirnya diri pecinta lenyap dari pandangannya, hanya wajah kekasih, wajah yang dirindukan, yang ada di depannya selamanya. Cinta adalah inti semua agama, mistisisme, dan filsafat, dan orang yang telah belajar cinta ini telah memenuhi tujuan agama, etika dan filsafat, dan pecinta itu terangkat ke atas semua ragam agama dan kepercayaan. Suatu saat Musa memohon kepada Tuhan bani Israel di gunung Sinai, "Hai Tuhan, Engkau telah begitu besar memberi kehormatan kepadaku dengan menjadikan aku utusan-Mu. Bila masih ada kehormatan yang lebih besar, aku mohon Engkau datang ke rumahku dan membelah roti di mejaku." Maka datang jawaban, "Musa, dengan senang hati Kami akan datang ke rumahmu."

Musa menyiapkan makanan yang lezat dan menunggu dengan penuh harap kedatanggan Allah. Kebetulan, di depan pintu rumahnya lewat seorang pengemis yang berkata, "Musa, aku sakit dan lelah, aku tidak makan selama tiga hari dan aku hampir mati. Berilah aku sepotong roti dan selamatkan nyawaku." Karena sangat berharap atas kedatangan Allah, Musa berkata kepadapengemis itu, "Tunggu, engkau akan kuberi lebih dari sepotong, dan makanan lain yang enak. Aku menunggu kedatangan tamu yang akan dating petang ini. Bila ia telah pergi, maka semua yang tersisa akan kuberikan kepadamu agar engkau dapat membawanya pulang." Orang itu pergi dan waktu berlalu, tetapi Allah tidak datang, maka Musa kecewa. Keesokan harinya Musa pergi ke Sinai dan menangis, "Tuhanku, aku tahu Engkau tidak mengingkari janji, tetapi dosa apa yang aku lakukan hingga Engkau tidak datang seperti Engkau janjikan?" Allah berkata kepada Musa, "Kami datang, hai Musa, tetapi sayang, engkau tak mengenali Kami. Siapa pengemis di depan pintumu? Apakah ia bukan Kami? Kami-lah yang berada di dalam semua bentuk yang hidup dan bergerak di dunia, namun kami jauh di dalam langit abadi Kami." Keragaman dapat terjadi dalam agama-agama, tetapi motif dari semuanya adalah satu: menyuburkan dan menyiapkan hati manusia bagi cinta ilahi. Kadang-kadang ruh pembimbing menarik perhatian manusia agar melihat dan mengagumi keindahan Allah di langit, kadang-kadang di dalam pohon dan batu, membuatnya menjadi pohon sakral, gunung suci, dan sungai yang menyucikan. Kadang-kadang ia menuntun perhatian manusia agar melihat keberadaan Allah di antara hewan dan burung-burung, dengan menyebut mereka hewan suci, burung sakral. Ketika manusia menyadari bahwa tak ada ciptaan yang lebih tinggi dari dirinya, ia berhenti menyembah ciptaan yang lebih rendah, karena mengenali cahaya ilahi yang menjelma di dalam manusia. Maka, dalam tahapan evolusi manusia, dunia melihat Allah di dalam manusia, terutama di dalam orang suci yang berkesadaran Allah. Manusia dengan diri yang terbatas tak dapat melihat Allah, keberadaan yang sempurna, dan bila ia mampu menggambarkan-Nya, gambaran yang terbaik adalah manusia. Bagaimana ia dapat membayangkan sesuatu yang belum pernah diketahuinya? "Kami menciptakan manusia menurut gambar Kami sendiri." Krishna bagi orang Hindu, Buddha bagi para Buddhis, adalah Allah bagi manusia. Para malaikat tak pernah digambarkan dengan bentuk selain manusia. Bahkan penyembah Allah yang tak berbentuk telah mengidealkan Allah dengan kesempurnaan atribut manusia, meskipun ini hanya merupakan tangga untuk mencapai cinta dari Allah yang sempurna, yang diperoleh secara bertahap.

Hal ini dijelaskan dalam kisah masa lalu. Suatu ketika Musa berjalan melalui sebuah padang ternak dan melihat seorang anak gembala berbicara kepada diri sendiri "Ya Tuhan, Engkau begitu baik hingga aku merasa bila Engkau berada di sini, aku akan menjagamu dengan lebih baik dari pada semua kambingku, lebih dari semua ayamku. Bila hujan aku akan menempatkan-Mu di bawah atap ilalang, bila dingin aku akan menutup diri-Mu dengan selimutku, dan bila panas matahari menyengat aku akan membawamu mandi di sungai. Aku akan membawamu tidur dengan kepala-Mu di pangkuanku, aku akan mengipasimu dengan topiku, dan akan selalu mengawasimu dan menjagamu dari serigala. Aku akan memberimu roti untuk makan dan susu untuk minum, dan untuk menghiburmu aku akan menyanyi dan menari dan memainkan serulingku. Ya Tuhanku, bila Engkau mendengarkan ini, datanglah dan lihat bagaimana aku akan memanjakan-Mu."

Musa terkejut mendengar semua itu, dan, sebagai pengantar pesan ilahi, ia berkata, "Alangkah kurangajarnya engkau, hai anak gembala, dengan membatasi Dia yang tak berbatas, Allah, Tuhan alam semesta, yang tak berbentuk, tak berwarna dan tak dapat ditangkap dengan pemahaman manusia." Anak gembala itu sedih dan takut atas apa yang telah dilakukannya. Namun kemudian datang wahyu kepada Musa: "Kami ridha dengan perbuatannya, hai Musa, karena Kami telah mengutusmu untuk mempersatukan keberadaan Kami yang terpisah-pisah dengan Kami, bukan untuk mencerai-beraikan. Berkatalah kepada setiap orang menurut tingkatan evolusinya."

Hidup di dunia penuh dengan kebutuhan, tetapi di antara berbagai kebutuhan, kebutuhan akan sahabat adalah yang terpenting. Tiada kesedihan yang lebih besar dari kesedihan orang yang tak berteman. Bumi ini akan berubah menjadi surga bila seseorang menginginkan teman dalam hidup. Namun surga, dengan semua kesenangan yang diberikannya, akan menjadi neraka bila tak ada teman yang dicintai. Jiwa yang berpikir selalu mencari persahabatan yang berlangsung lama. Orang bijak lebih menyukai seorang teman yang mau berjalan bersamanya dalam sebagian besar perjalanan hidupnya. Miniatur dari perjalanan hidup kita dapat dilihat pada perjalanan biasa. Bila ketika kita pergi ke Swiss, kita berteman dengan seseorang yang membeli tiket ke Bombay, maka kebersamaan dengannya akan berlangsung beberapa lama, dan sesudah itu, di sepanjang sisa perjalanan kita akan pergi sendirian. Setiap persahabatan di dunia hanya akan berlangsung sebentar dan akan berhenti. Karena perjalanan kita akan melampaui kematian, bila ada persahabatan yang kekal, maka persahabatan itu hanyalah dengan Allah, yang tak berubah dan tak berakhir. Tetapi bila kita tak dapat melihat dan tak dapat menangkap keberadaan-Nya, tak mungkin kita berteman dengan seseorang yang tak kita sadari. Dengan Allah sebagai satu-satunya sahabat, persahabatan dengan-Nya adalah satu-satunya persahabatan di dunia yang dapat menuntun kita kepada Kekasih ilahi. Banyak di antara para Sufi yang mencapai kesempurnaan Allah melalui Rasul, manusia ideal. Dan orang mencapai pintu Rasul melalui Syekh, mursyid atau pembimbing spiritual, yang jiwanya terfokus kepada ruh Rasul sehingga terkesan oleh kualitasnya. Jalan ini menjadi jelas bagi para pejalan di jalur pencapaian Kekasih ilahi.

Persahabatan dengan Syekh tak punya motif selain bimbingan dalam mencari Allah. Persahabatan itu akan erlangsung selama anda ada, selama anda mencari Allah, selama bimbingan diperlukan. Persahabatan dengan Syekh disebut Fana-fi-Syekh, dan ini kemudian berubah menjadi persahabatan dengan Rasul. Bila murid menyadari keberadaan kualitas spiritual mursyid yang lebih dari manusia biasa, itulah saatnya ia siap untuk Fana-fi-Rasul.

Persahabatan dengan Syekh adalah persahabatan dengan bentuk, dan bentuk itu dapat lenyap. Orang mungkin berkata, "Aku punya seorang ayah, tetapi sekarang sudah tiada." Sesungguhnya, kesan tentang ayahnya masih ada di dalam pikirannya. Kebaktiannya kepada Rasul adalah seperti itu. Nama dan kualitasnya masih ada meskipun bentuk fisiknya telah lenyap dari bumi. Rasul adalah personifikasi dari cahaya bimbingan yang diidealkan murid menurut tingkatan evolusinya. Kapan pun murid itu mengingatnya, di darat, di udara air, di dasar laut, ia hadir bersamanya. Kebaktian kepada Rasul merupakan tahapan yang tak dapat diabaikan dalam pencapaian cinta ilahi. Tahapan ini disebut Fana-fi-Rasul. Setelah itu datanglah Fana-fi-Allah, ketika cinta kepada Rasul tenggelam ke dalam cinta kepada Allah. Rasul adalah Guru yang diidealkan karena atributnya yang dicintai, kebaikannya, kesuciannya, kasihnya. Keutamaannya dapat dipahami. Bentuknya tak diketahui, hanya namanya yang menunjukkan kualitasnya. Tetapi Allah adalah nama yang diberikan kepada kesempurnaan ideal di mana semua keterbatasan lenyap, dan dalam Allah ideal itu berakhir. Seseorang tak kehilangan persahabatan dengan mursyid atau dengan Rasul, tetapi ia melihat mursyid di dalam Rasul dan melihat Rasul di dalam Allah. Kemudian untuk memperoleh bimbingan, untuk memperoleh nasihat, ia hanya mencarinya dari Allah saja. Ada kisah mengenai Rabiah, seorang Sufi besar, bahwa ia pernah melihat Muhammad dalam visinya dan ia ditanya oleh Nabi, "Hai Rabiah, siapa yang kau cintai?" Ia menjawab, "Allah." Nabi berkatka, "Bukan Rasul-Nya?" ia menjawab, "Hai Guru yang diberkahi, siapa di dunia ini yang mengetahuimu tetapi tak mencintaimu? Tetapi kini hatiku begitu tenggelam dalam Allah hingga aku tak dapat melihat sesuatu kecuali Dia." Bagi mereka yang melihat Allah, Rasul dan Mursyid lenyap dari pandangan. Mereka hanya melihat Allah di dalam Mursyid dan Rasul. Mereka melihat segala sesuatu sebagai Allah dan tak melihat yang lain.

Dengan kebaktian kepada mursyid, murid belajar mencintai, berdiri dengan kerendahan anak kecil, pada wajah setiap makhluk di bumi ia melihat bayangan wajah mursyidnya. Bila Rasul yang diidealkan, ia melihat semua yang indah terefleksi di dalam kesempurnaan Rasul yang tidak tampak. Kemudian ia menjadi independen bahkan dari keutamaan, yang juga memiliki kutub yang berseberangan, dan pada kenyataannya tidak ada, karena itu hanya perbandingan yang membuat sesuatu lebih baik daripada yang lain. Ia hanya mencintai Allah, kesempurnaan yang ideal, yang tak dapat dibandingkan. Kemudian ia sendiri berubah menjadi cinta, dan karya cinta telah diselesaikan. Kemudian pecinta sendiri berubah menjadi sumber cinta, asal cinta, dan ia hidup dalam kehidupan Allah, yang disebut Baqa bi-Allah. Kepribadiannya menjadi kepribadian ilahi. Kemudian pikirannya menjadi pikiran Allah, perkataannya menjadi perkataan Allah, perbuatannya menjadi perbuatan Allah, dan ia sendiri menjadi cinta, pecinta, dan kekasih sekaligus. (tamat)